Google

Wednesday, December 26, 2007

IKLAN

SI SUKSES : Pak Heri dari Bogor


Vivere pericoloso. Demikian slogan yang kira-kira berarti menyerempet-nyerempet bahaya ini banyak dijalani oleh lelaki asal Bogor ini. Menikah di usia muda, menjadikannya pejuang tangguh, serta membawanya pada jenjang sukses sebagai agen koran di kota Bogor. Kabarnya, bila ingin sukses diraih, maka sesekali serempetlah bahaya.

Pak Heri, demikian dia biasa dipanggil. Pangkalan korannya berupa tenda, dengan gudang mobil Espass-nya terlihat tiap hari di dalam kawasan Taman Topi Bogor. Dengan jangkauan distribusi se Bogor dan sebagian wilayah Sukabumi menjadikan Pak Heri agen yang paling banyak dicari penerbit koran dan majalah saat ini. Ditambah lagi, riwayat pembayaran yang bagus, menjadi catatan tersendiri bagi agen ini. Selain menguasai ratusan pengecer, pak Heri dengan Heri agency-nya juga melayani ratusan pelanggan serta memiliki beberapa kios koran sendiri.

Adakah semua kesuksesan pak Heri yang lahir di Bogor 28 Juni 1966 ini dicapai dalam waktu satu malam? Berikut kisah perjuangannya, yang bisa kita ambil tauladannya.

Awalnya sebagai Pengecer.

Tahun 1995 adalah titik awal kehidupan Pak Heri. Menikah pada usia muda, pak Heri kembali ke Bogor setelah bertahun-tahun mengadu nasib di Jakarta. Mulanya dia hanya tenaga security yang kemudian menjadi tenaga gudang di sebuah pabrik pembuatan pakan ayam. Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik, karena gaji yang tak lagi cukup memenuhi kebutuhan, membuat lelaki ini memutuskan kelur dari pekerjaannya dan memutuskan merintis bisnis sendiri.

Memulai usahanya dengan berjualan baju, pak Heri mantap menapakkan langkahnya. Di sela istrihatnya di hari Sabtu dan Minggu, dia ikut-ikut tetangganya yang menjadi pengecer koran untuk berjualan beberapa koran (belakangan, hingga meninggalnya, sang tetangga ini tetap menjadi pengecer koran). Malang tak dapat diraih, mujur tak dapat ditolak; usaha jualan bajunya kurang berkembang dengan baik, sehingga pak Heri memutuskan fokus menjadi pengecer koran.

Setiap pagi, dia membeli koran di seorang agen di Pasar Bogor. Dengan omzet 80 ribu sehari, dia menjajakan dagangannya keliling kota Bogor dengan BERJALAN KAKI. Semua dijalaninya hingga tahun 2000. Namun, karena merasa tak ada peningkatan berarti dari usahanya menjadi pengecer koran, pak Heri tergoda untuk kembali bekerja. Menjadi karyawan di sebuah pabrik sepatu hingga tahun 2005. Pak Heri diberhentikan karena kontrak kerjanya habis.

Fokus, ulet dan kerja keras.

Ini adalah titik balik. Selepas dari PHK pabrik sepatu itu, pak Heri tak lantas tenggelam dalam kesedihan. Dengan modal 5 juta rupiah, dia mulai menghubungi teman-teman dan jaringan lamanya di bisnis koran. Dan mulai pak Heri menjadi sub agen, atau naik pangkat ketimbang 5 tahun lalu yang hanya pengecer kecil. Dengan fokus, ulet dan tak kenal lelah, pak Heri tetap berkeliling bogor untuk mengembangkan jaringan korannya. Semua dijalani sendiri, tanpa merasa risih atau canggung. Dari awalnya 10 pengecer, hingga kini jumlah pengecernya sudah lebih dari 150 orang.

Menjadi sub agen dengan jaringan yang luas, adalah berkah tersendiri. Penerbit-penerbit mulai meliriknya. Hingga, datanglah utusan dari koran SINDO yang menjadikannya agen utama di kota Bogor.

Kini, dengan jaringannya, omzet yang diraih pak Heri tak kurang dari 100 juta per bulan. Dengan keuntungan rata-rata 20%, maka gaji karyawan penerbitpun tak bisa menyamai pendapatan pak Heri saat ini.

Bapak 3 anak, dengan 1 cucu ini kita tinggal menikmati buah kerja keras dan keuletannya dengan rumahnya yang adem di bilangan Ciomas, mobil serta motor dan anak-anak yang sebagian telah menyelesaikan banku kuliah. “Ini adalah pelabuhan terakhir”, ujarnya mantap. Dan dengan menerawang, pak Heri kini tinggal mengejar satu impiannya : memiliki lokasi jualan yang permanen, sehingga anak-anaknya bisa ikut mewarisi bisnisnya ini. (BAS)

Wednesday, December 12, 2007

SI SUKSES : Davi Loper yang Insinyur


DIKUTIP dari PIKIRAN RAKYAT Online


Hari masih gelap, malam baru saja usai bertugas. Sekira pukul 3.00 WIB kesibukan pecah di sebuah rumah di kawasan Padasuka Bandung Timur. Laki-laki muda, wajahnya selalu tersenyum, matanya hampir tak pernah terpejam lelap, ia selalu terjaga menunggu subuh turun menyelimuti bumi Parahyangan. Saat itulah ia terjaga dan bergegas bangun.



Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah sibuk memilah mana koran-koran yang harus dikembalikan, sisa penjualan yang tidak terjual di hari kemarin. Usai salat Subuh, laki-laki yang selalu tampak energik itu, bergegas dengan motornya menerobos dinginnya pagi. Ia keluar rumah untuk menjemput ratusan koran Pikiran Rakyat dan yang lainnya dari agen H. Iskandar di Bandung Timur. Koran-koran itu, lalu diantarkannya ke tiga outlet yang sudah menjadi langganannya sejak dulu. Barulah ia memulai aktivitasnya mengantarkan koran Pikiran Rakyat dari pintu ke pintu pelanggan yang kini tersebar di tiga wilayah, Antapani, Arcamanik dan daerah Ujungberung Bandung, termasuk Padasuka wilayah tempat tinggalnya.

Begitulah hari-hari Davi Sutaryan. Laki-laki kelahiran Bandung 15 Desember 1975 ini tampak selalu bugar, tidak pernah mengeluh membangun kesibukannya setiap hari. Bahkan tanpa lelah, ia harus berjuang sendirian menciptakan pekerjaan demi kelangsungan hidupnya.

Ia paling pantang membuka kedua telapak tangannya untuk meminta uang dari kedua orang tuanya yang telah melahirkannya. Pasangan Sukaesih dan Endang Sukandar, kedua orang tuanya amat bangga pada Davi, yang juga menjadi tulang punggung keluarganya. Sejak tamat STM, boleh dikatakan Sutaryan muda tidak lagi meminta uang jajan dari orang tuanya, termasuk uang kuliah ketika masih berstatus mahasiswa teknik mesin di Unjani.

Sutaryan tidak pernah merasa malu meski ia menjadi seorang pengantar (loper) koran. Ketika ia masih kuliah, ia juga tidak menutupi pekerjaannya. Rekan-rekannya mahasiswa malah mengagumi perjuangan yang dilakukannya itu. Dulu ia berjualan koran dengan berjalan kaki, lalu mampu membeli sepeda, dan sekarang ia sudah memiliki dua buah motor.

"Saya tertarik pekerjaan ini, terus terang karena cerita teman. Cerita tentang pekerjaan ini begitu menantang. Hati saya membatin, kenapa saya tidak mencobanya? Ternyata benar, berkat Pikiran Rakyat saya bisa seperti sekarang ini, karena di antara koran yang saya order, paling banyak permintaan adalah 'PR'," ujar Sutaryan, mengembangkan senyum optimistis.

Hingga hari ini, ia selalu memesan 250 eksemplar koran Pikiran Rakyat, dan 500 eksemplar di hari Sabtu dan Minggu. "Sebanyak itu nyaris selalu habis setiap hari. Kalau Minggu saya ambil Pikiran Rakyat sampai 500 eksemplar. Ecerannya termasuk kuat di hari Sabtu dan Minggu," ujar Sutaryan yang pernah menjajal pekerjaan di sebuah perusahaan rokok tapi hanya bertahan tiga bulan.

"Pernah saya berpikir untuk menjadi pegawai negeri, tetapi orang bilang, saya harus membayar Rp 50 juta sebagai jaminan. Saya kaget mendengar ajakan itu. Uang dari mana? Sekarang saya tidak pernah bermimpi mau jadi pegawai negeri lagi," katanya getir.

Ia tertarik menjadi seorang loper koran sejak masih duduk di bangku SMP. Kini ia telah berhasil memetik gelar insinyur teknik mesin di Unjani tahun 2000. Sutaryan mengakui itu semua berkat pekerjaannya sebagai tukang pengantar koran.

"Tidak ada pekerjaan yang lebih baik kecuali menjadi pengantar koran seperti sekarang ini. Saya pernah bekerja di luar pengantar koran, tetapi tidak betah, saya selalu mengantuk," ujar Sutaryan di suatu subuh, saat mengantarkan koran di daerah Antapani Bandung.

Selepas lulus STM, pekerjaan itu ia tekuni lebih serius di tahun 1993. Sambil kuliah di Unjani, ia terus setia menekuni profesinya itu, sehingga berhasil memboyong ijazah sarjana dari jurusan teknik mesin. "Boleh dibilang saya memperoleh biaya kuliah dari menjual 'PR'. Koran inilah yang paling banyak saya jual, yang lainnya hanya pelengkap," kata Sutaryan.

Dari suatu eksemplar koran ia bisa mengantongi keuntungan Rp 1.000,00, tabloid Rp 2.000,00, dan majalah Rp 3.000,00 hingga Rp 4.000,00. Rata-rata penghasilan bersih yang dibawa pulang ke rumah setiap bulan, lebih dari Rp 2 juta. Padahal jam kerjanya mulai pukul 3.00 WIB hingga pukul 8.00 WIB.

"Sekarang saya tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Kalau saya tekuni dengan serius, ternyata dari koran ini saya bisa hidup berkecukupan," katanya bangga. Sutaryan, kini sudah memiliki dua orang bawahan yang bertugas membantu mengantarkan koran pada ratusan pelanggan lainnya. Ia kini tengah merintis menjadi subagen.

"Ada juga yang meminta koran dari saya untuk mereka jual ke pelanggan, alhamdulillah,... ini semua berkat koran 'PR'," kata Sutaryan bangga.

Ditanya sukadukanya menjadi loper koran, Davi Sutaryan yang masih bujangan ini tersenyum, kepalanya tertunduk. "Saya sering kena damprat pelanggan koran kalau koran terlambat tiba di tangan pelanggan, atau kalau harganya naik, pelanggan suka ngomel. Menjadi tukang koran seperti saya harus kuat, kupingnya harus tebal menampung kekesalan pelanggan. Saya sih hanya minta 'PR' usahakan jangan telat terbit supaya saya tidak sering kena sasaran omelan pelanggan," ujar Sutaryan memberi masukan.

Lalu buat apa ijazah insinyur di genggamanmu? "Ya buat apa ya, saya tidak tahu, tapi kelak kalau punya rezeki saya ingin buka bengkel, subuh antar koran, selanjutnya buka bengkel," kata Sutaryan berbinar-binar.

Hari itu, baru saja pukul 8.10 WIB, koran yang dibawanya sudah sejak tadi habis. Seorang pembeli eceran memborong tiga koran sisa yang memuat pengumuman CPNS. Sutaryan menarik napas lega, tugasnya hari itu tuntas,... tas, tas, taassss. (Ratna Djuwita/"PR")***

Tuesday, December 11, 2007

IKLAN

Monday, December 10, 2007

KiSAH : Mengapa gagal, Hikayat pak Yayat

Kegagalan, sebagian orang menafsirkannya sebagai kesuksesan yang urung diraih. Kegagalan diterjemahkan pula sebagai akhir dari kesuksesan dari tak jadi tercapai. Bagi yang membuat penafsiran pertama, selalu masih ada waktu untuk terus mencoba mencapai kesuksesan baru. Namun, bagi kelompok kedua, kegagalan adalah akhir dari segala-galanya. Hikayat pak Yayat adalah kisah sebenarnya, dengan nama yang disamarkan. Kegagalannya di bisnis koran patut menjadi cermin bagi kita, terutama yang menganut tafsiran kegagalan golongan pertama. Dengan segala hormat saya kepada pak Yayat, ijinkan saya menceritakannya kepada anda semua.

Usianya belum genap enam puluh tahun ketika beliau saya kenal pertama kali tahun 1999 lalu di Bursa Koran Cikapundung bandung. Namanya hampir melegenda di kalangan para penerbit dan agen, siapa tak kenal Pak Yayat. Dari sudut Bursa Cikapundung, dengan pembawaann yang kalem namun tegas, membawanya menjadi agen eceran yang disegani baik oleh penerbit, maupun oleh subagent dan pengecer.

Omzet penjualan pak Yayat tahun 1999 bisa kita hitung bersama. Dari KOMPAS-nya yang 4000 eksemplar, PIKIRAN RAKYAT yang 6000 eksemplar dan majalah GATRA-nya yang 4000 per minggu saja plus koran dan majalah lain, membukukan lebih dari 300 juta per bulan. Dengan keuntungan rata-rata 20% sebulan, sudah dapat dipastikan 60 juta sebulan masuk ke saku pak Yayat. Angka ini jauh melebihi gaji direktur penerbitan manapun, malah barangkali lebih besar dari gaji Menteri Penerangan saat itu sekalipun.

Beberapa Rumah, berhektar tanah, beberapa mobil sertra gelar Haji di depan namanya adalah bukti itu semua. Bisnis ini sudah menjadikan pak Yayat seorang jutawan. Jerih payahnya selama 40 tahun menjadi tukang koran sudah berbuah. Kalau dulu pak Yayat harus terjun sendiri mengurusi keagenannya, saat itu, anak menantu dan beberapa anak buah sudah sigap membantunya tiap bagi membagikan koran di bawah temaram lampu Lapangan Cikapundung. Siang hari, dengan kesegaran baru setelah menikmati istirahatnya, pak Yayat selalu bisa ditemui di kantornya di pojokan jalan dekat terminal Leuwipanjang. Billboard raksasa sebuah majalah berita menjadi penanda letak kantornya.

Kejayaan pak Yayat, berangsur pudar saat reformasi bergulir. Ya, sat itu semua orang tak lagi memerlukan ijin untuk menerbitkan sebuah media. Media baru bermunculan bagai cendawan di musin penghujan. Dengan misi dan visi yang tak jelas, media-media itu bermunculan begitu saja. Rupanya pak Yayat tak siap dengan perubahan itu.

Terlalu banyak yang ditangani.

Saat itu, dalam waktu kurang dari 6 bulan pasca reformasi, terbit lebih dari 100 penerbitan baru. Sebagai agen yang paling terkenal di Bandung, pak Yayat selalu mendapat penawaran pertama untuk menjadi agen. Secara tak sadar, pak Yayat kehilangan control. Anak menantu- nya tak melakukan penyaringan atas media yang menawarkan diri. Hampir semua diterimanya.

Dalam perkembangannya, media-media baru yang tidak semuanya ditangani secara professional ini, berguguran satu per satu. Uang penjualan yang tersangkut di sub agen dan loper sulit ditagih, karena suplai terhenti, sedangkan penerbit Koran atau majalah yang sudah tutup tersebut tak mau tahu kondisi ini, jadilah hutang pak Yayat membengkak di mana-mana.

Pelajaran yang harus dipetik adalah perlakukan prioritas penanganan.

Media yang tak jelas visi misi dan latar belakangnya harus dipertimbangkan masak penawarannya sebelum diterima.

Administrasi tak siap

Semakin banyak produk yang ditangani, tidak diimbangi pak Yayat dengan sistem administrasi penerimaan barang dan penagihan yang bagus. Suatu ketika, ada seorang oknum sebuah tabloid yang dengan sengaja membedakan antara fisik dan nilai di dokumen. Pak Yayat, tak melakukan control dengan baik, sehingga saat ditagih terjadilah selisih yang diperhitungkan sebagai hutang.

Kesiapan administrasi mutlak perlu agar tidak terjadi hutang akibat kelalaian atau kesalahan penghitungan.,

Penanganan Subagen dan pengecer longgar.

Sub agen dan pengecer tidak memiliki ikatan formal dengan agen. Pak Yayat sebenarnya sadar betul soal itu, namun karena kondisi di bursa yang carut marut akibat banyaknya penerbitan baru, ditambah ketidak siapan di dalam; membuat pak Yayat kehilangan control—terutama atas penagihan—pada sub agen dan pengecer. Piutang di tangan pengecer dan subagent bertebaran dan tak bisa lagi ditagih karena sudah terlalu besar. Ini makin menggerogoti keagenan pak Yayat.

Cukuplah sudah hikayat ini ditutup dengan kisah sedih ambruknya karajaan bisnis pak Yayat. Tak ada lagi mobil berdesakan di garasi, atau sertifikat rumah yang bertumpuk di dalam lemari besi. Semua sudah hilang. Kegagalan pak Yayat, mungkin akhir dari cerita ini.

Tapi Kegagalan pak Yayat, adalah pelajaran penting bagi kita semua (BAS)

Sunday, December 02, 2007

BISNIS : Ada apa di balik koran ?


Tak jarang, kita ngomel tak keruan karena hanya karena pagi-pagi koran tak kunjung tiba di atas meja. Loper yang berpeluh karena ngebut saat mengayuh sepeda—hampir pasti—akan menjadi sasaran kemarahan kita. Wajahnya yang tak bersalah akan makin tak bercahaya, karena koran terlambat tiba pasti bukan karena kesalahannya. Tapi, kita para pembaca, mana mau tahu sumber masalahnya.

Tak jarang pula, kita akan semakin ngomel tak ketahuan juntrungannya karena koran yang kita baca tertutup oleh iklan yang banyaknya melebihi berita. Iklan bertumpuk, bersilang saking banyaknya. Benak selalu bertanya, mengapa koran makin banyak iklannya, dan makin sedikit beritanya?

Tak banyak yang tahu, loper yang telah berpeluh dan iklan yang berjibun banyaknya, adalah representasi ekonomi yang bergerak karena adanya bisnis koran. UNTUNG!! Mencoba memilahnya secara sederhana untuk anda, bisnis yang berada di balik segulung koran.


AGEN KORAN


Bisakah anda bayangkan, bagaimana koran yang telah dicetak bisa sampai di tangan anda, di semua pelosok Jakarta, sama waktunya –bahkan-- dengan saat Presiden kita menerimanya? Adakah koran itu terbang dengan sendirinya? Atau dibawa oleh Jin dengan permadani terbangnya?

Ternyata, ada dunia di bawah tanah sana bernama dunia keagenan koran. Setiap pagi, tak kenal libur atau hujan, agen koran setia menanti kiriman dan kemudian mengantarkannya hingga sampai di depan pintu rumah kita. Agen, dengan jaringan loper dan pengecernya bergerak bak jaringan fiber optik mengantarkan data. Dengan armada motor dan sepeda, mereka menjangkau kota dan desa, kampung atau perumahan kita.


Agen-agen di Jakarta (dan beberapa tempat di Indonesia) berkumpul di beberapa lokasi yang mereka sebut Bursa. Di Jakarta kita mengenal Bursa Harmoni, Kramat, Cililitan, Cawang atau Blok A. Dulu ada bursa lapangan banetng, kini sudah tak ada. Di Bandung, sambangi lapangan dekat jalan ABC, sebelah kali Cikapundung. Orang koran menyebutnya bursa Cikapundung. Di Medan
ada Bursa Munir di Pajak Hongkong belakang Novotel, atau Bursa depan Kantor Pos di kota Makassar. Bukan rahasia, kalau anda ingin mendapatkan koran atau majalah dengan harga miring disanalah tempatnya, karena para agen memberikan harga sebagaimana dia memberikan kepada sub agen atau pengecernya.


Jangan dibayangkan agen-agen koran tampil dengan kondisi prima. Kondisi lapangan yang keras, membuat mereka tampil seperti “preman” layaknya. Walaupun itu hanya tampak luarnya saja. Dalam dunia mereka ada kode etik tak tertulis soal jaringan dan wilayah kerja, yang mereka hormati. Dan jangan heran, bila mendapati satu agen tak kenal satu persatu pengecer atau lopernya, karena satu agen bisa melayani puluhan hingga ratusan pengecer atau loper tiap harinya.

Di bursa, umumnya pemain tua masih dominan adanya. Beberapa sudah mewariskan pada generasi keduanya, namun banyak yang masih bertahan dengan kesetiannya. Rata-rata menjadi agen sudah di atas 30 tahun lamanya, membuktikan bahwa bisnis ini memang menjanjikan : tentu bila dikelola dengan baik dan benar.

Dalam hal sistem penjualan dan layanan, dikenal dua jenis agen koran : yaitu agen langganan dan agen eceran. Agen eceran cenderung menguasai wilayah luas, dengan oplah besar sifat penjualannya lebih spekulatif. Sedangkan agen langganan iasanya melayani area tertentu yang lebih sempit, dengan loper yang tak banyak (begitu juga jumlah koran yang dipegang, serta sifat pelayanannya menonjol.

BIRO IKLAN

Bayangkan koran tanpa iklan. Selain nampak membosankan, karena tak banyak gambar, juga tak indah rupanya. Dan bayangkan pula, koran tanpa iklan; bisa jadi tak ada akan tahan lama nyawa itu koran. Ya, iklan adalah bagian dari nyawa sebuah koran.

Hadirnya iklan di koran, selain karena peran tenaga penjualan, juga karena adanya para biro iklan. Ibarat jembatan, kini biro iklan adalah penghubung maksud si pengiklan, membuat materi yang indah (dan mudah dimengerti) memilihkan media yang tepat hingga sampailah iklan di tangan pembaca.

Dalam pekerjaannya, biasanya, biro iklan memberikan layanan satu pintu untuk pelayanan kreatif (perancangan materi iklan), perencanaan media yang tepat dan penjadwalannya, serta purna jual dengan pengukuran respon dan efektivitas sebuah iklan. Tak sedikit pula, biro iklan yang mengkhususkan dirinya menangani iklan-iklan kecil, atau yang di koran-koran berbentuk baris dan kolom kecil.

Bisnis ini menuntut kreativitas yang tinggi, kepekaan membaca pasar serta kedekatan dengan media (dalam hal ini kita berbicara soal koran).

Koran, biasanya memberikan harga khusus kepada biro iklan; sehingga acapkali, pemasang iklan akan mendapat harga lebih mahal saat dia mencoba berhubungan dengan koran. Boleh dikatakan, biro iklan mendapat keuntungan dari dua sisi : komisi dari penerbit dan “charge” dari pemasang iklan.

Saat ini, untuk pemasangan iklan besar (dari perusahaan-perusahaan besar) ditangani oleh biro iklan besar dengan back up modal yang kuat; karena biasanya koran seperti KOMPAS mensyaratkan pembayaran di muka untuk pemasangan iklan. Dan kini, sudah jadi trend di Indonesia, biro iklan besar ini memiliki afiliasi dengan biro iklan internasional; sehingga menguasai bisnis ini dari hulu hingga hilir. Biro-biro ilan besar bergabung dalam P3I atau Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

Biro iklan kecil, tetap juga bertahan dengan pasar mereka, pasar yang mmang tak dirambah biro iklan besar. Jumlah biro iklan kecil ini – di Jakarta saja – mencapai ribuan. Mereka memiliki asosiasi sendiri pula.

PENJUAL KORAN BEKAS

Barangkali banyak orang meremehkan bisnis ini. Tapi, dengan banyakya koran yang terbit saat ini; dan tak semua laku, bisnis ini sangat menjanjikan.

Jangan dibayangkan, penjual koran bekas datang ke penerbit dengan gerobak butut yang ditarik tenaga manusia. Mereka sudah mendapat pesanan dari pabrik daur ulang kertas dalam hitungan ribuan kilogram, artinya moda yang dipakai minimal truk beroda enam. Selain dibawa ke pabrik kertas, mereka juga menjual kepada pengrajin bungkus kertas untuk konsumsi pedagang sayur mayur di pasar.

Namun, untuk berbisnis jual beli koran bekas ini, biasanya diperlukan modal sangat besar, karena pebisnis ini harus membayar tunai pada para pemulung atau pihak penjual. Sedangkan mereka akan melepas ke pabrik bila kuota berat sudah terpenuhi, malah tak jarang pabrik membayar dengan cek atau giro yang tak langsung cair


PENERBIT KORAN

Ada pameo bilang, orang yang menerbitkan koran di Indonesia, adalah orang gila atau bila dia tak gila maka dia punya banyak sekali uang. Bisnis penerbitan koran, adalah bisnis yang menggiurkan sebenarnya. Bayangkan, koran seperti KOMPAS bisa meraup pendapatan iklan lebih dari 3 Milyar sehari. Namun, saat iklim reformasi mulai bergulis, saat menerbitkan koran tak perlu SIUP, di saat itu pula ratusan koran baru terjungkal karena kehabisan napas alias modalnya habis di tengah jalan.

Selain menjanjikan pendapatan besar, memliki koran adalah prestise tersendiri. Posisi tawar secara politik pemilik koran biasanya akan besar, apalagi korannya besar. Kenapa, karena koran bisa membentuk opini yang memihak pada kubu tertentu (yang sebenarnya secara etik jurnalistik kurang etis dilakukan).

Untuk menerbitkan koran, modal utama yang harus dimiliki selain uang yang cukup, juga SDM yang handal, karena industri ini padat karya, sedikit bagian yang bisa dikerjakan oleh mesin. Berapa modal awalnya? ada bisa hitung sendiri : untuk koran setebal 44 halaman, diperlukan biaya cetak 2000 rupiah per eks, bila anda ingin koran anda "tampil" di Jakarta, sehari minimal harus cetak 25000 eksemplar, dengan SDM minimal 60 orang, iklan yang belum banyak, maka siap-siaplah merogoh kocek cukup dalam. (BAS)

SEJARAH : Koran pertama lahir dibandung


Adakah anda bisa membayangkan, di jaman yang menuntut kita serba tahu ini tak ada Koran. Tak ada teman minum kopi di pagi hari, tak bahan bacaan untuk referensi berdiskusi di siang hari?

Koran, majalah, tabloid – apapun isinya – sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita, bahkan sejak kita belum mengenal huruf untuk dibaca. Tapi tak banyak yang tahu, bagaimana sejarah asal muasal Koran?

Koran bukan produk asli Indonesia. Dari beberapa literatur yang ada—salah satunya dari situs ensiklopedia : www.questia.com-- diyakini bahwa cikal-bakal koran berasal dari jaman romawi kuno dalam bentuknya yang paling sederhana (semacam pamflet atau poster di jaman kini), dan berkembang menjadi mirip koran saat ini ketika di Eropa saat ditemukannya mesin cetak bertenaga uap pada abad 17-18.

Momentum revolusi industri di tahun 1800-an memacu tumbuhnya oplah koran di Eropa dan Amerika. Ini adalah jaman keemasan, termasuk untuk koran sore (yang belakangan redup dengan makin sedikitnya kaum ‘blue collar’).

Tradisi membuat koran, masuk ke Indonesia ditandai dengan lahirnya koran berbahasa Belanda “Batavia Nouvelles” pada 7 Agustus 1744, atas kebaikan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Batavia. Lalu, arah perkembangan koran di Indonesia dipicu lahirnya koran bernama “Brotomartani” di Surakarta.

Koran yang boleh dikatakan pribumi tulen, dan boleh jadi menjadi cikal bakal industri koran nasional adalah “Medan Priyayi” yang didirikan oleh RM Tirtohadisoerjo tahun 1907 di Bandung. Awalnya adalah mingguan, lalu pada tahun 1910 terbit menjadi harian.

Dalam kurun waktu 60 tahun, koran-koran baru dengan “manajemen pribumi” tumbuh dan mati bergantian. Era tahun 1970-an boleh dikata awal dari perkembangan koran-koran indonesia yang telah mulai dimanajemeni dan diproduksi dengan cara modern pada jamannya. KOMPAS, Indonesia Raja, PRIORITAS (yang kemudian menjadi MEDIA INDONESIA, SINAR HARAPAN, majalah mingguan TEMPO. Tantangan koran pada jaman ini, masih tak jauh berbeda dengan jaman dulu; selain persoalan represi dari penguasa, juga manajemen media massa.

Pada tahun 1998, dikabarkan jumlah koran yang sempat terbit Indonesia mencapai 1000 buah karena euforia jaman, seleksi alam membiarkan koran-koran yang dikelola dengan profesional tetap hidup.

Dari sisi bisnis keagenan koran, nampaknya tak segegap gempita perkembangan teknologi produksi koran. Di Jakarta, agen-agen koran sudah berada di emperan Harmoni sejak tahun 1970-an hingga kini, begitu juga bursa Cikapundung di Bandung dan Jembatan Merah di Surabaya. Barangkali ini dipengaruhi, selain dari faktor industri koran yang sentralistik ke sisi produksi—yang menganak emaskan wartawan atau redaksi – juga karena pelaku bisnis keagenan rata-rata bukan pemain profesional yang memikirkan benar faktor manajemen dan kaderisasi. Bila sang pemain mundur atau mati, maka matilah bisnisnya. Persaingan yang main ketat, ditambah tak tumbuhnya minat baca (plus minat beli) membuat koran-koran baru tumbang, serta menyeret agen-agen dalam kubangan hutang. Dalam kondisi ini, sebenarnya ada peluang bagi pemain profesional untuk masuk mengelola bisnis keagenan.

Bisnis lain di industri. ini adalah industri iklan. Sebelum era 1980-an, industri iklan koran boleh dikatakan mencorong, sampai kemudian bertumbuhan TV-TV swasta. Kini, media cetak (koran tabloid, majalah dan sejenisnya) hanya kebagian sekitar 30% pangsa iklan. Sisanya disedot oleh TV. Seiring dengan itu, para pengiklan tumbuh menjadi makin cerdas dan kreatif, ditambah masuknya biro-biro iklan yang berafiliasi dengan biro iklan internasional membuat persaingan di sektor ini juga tak kalah ketat Mereka mencari media alternatif seperti media komunitas yang pasanya fokus, captive namun tarif pemasangan iklannya tak mahal. Sehingga, sebenarnya muncul peluang lagi untuk menggarap iklan-iklan media komunitas ini.

Sejarah sudah berbicara, sejarah memberikan ilmunya. Tinggal kita, yang belum atau baru memulai jangan mengulangi sejarah kesalahan yang sama. Karena keledai juga tak melakukannya. (BAS).

Wednesday, November 28, 2007

UNTUNG!! edisi DESEMBER 2007

UNTUNG edisi Desember 2007 akan membuka blak-blakan semua aspek tentang BISNIS AGEN KORAN dan MAJALAH.

Bila anda memiliki pengetahuan cukup soal sejarah koran, memiliki pengalaman berbisnis agen koran dan majalah, pernah menjalaninya entah sukses atau gagal, silakan mengirimkan tulisan ke ; basriadhi@cbn.net.id...jangan lupa disertakan foto dengan resolusi 75 dpi saja (supaya tak terlalu berat).

Tabloid Panduan Usaha UNTUNG!! yang pemula jadi bisa, yang lihai makin piawai.

Tuesday, November 27, 2007

BERGURU : Berikan nilai tambah ...

Salam,

Selamat ya buat Untung yang sudah menjadi tabloid Panduan Usaha. Semoga bisa memandu kami yang masih awam dalam berwirausaha.

Saya punya dua pertanyaan nih, terkait dengan keinginan besar saya membuka usaha burger:
Banyak orang mengatakan bisnis burger sudah jenuh... menurut bapak apakah benar demikian?

  1. Meski dianggap sudah jenuh, saya kukuh tetap ingin buka bisnis burger. Apa saran bapak?

Sekali lagi terima kasih dan selamat buat Untung!!

Irsyad

Bogor

-------------------------------------------------------------------------------------------

Jawaban 1:

Perkembangan sebuah jenis bisnis (misalnya Buger di Indonesia) berkembang dengan deret ukur. Perkembangannya sangat pesat. Artinya untuk mencapai jumlah cabang

dari 100 ke 200 misalnya, akan sama cepatnya dengan waktu jumlah cabang dari 1,000 ke 2,000. Jumlah Cabang Edam Burder misalnya sudah 2,000 lebih belum lagi pecahannya seperti Edola Burger yang jumlahnya ratusan, ditambah lagi turunannya yang marak di berbagai Pameran Franchise. Artinya cepat atau lambat bisnis ini akan membludak. Dan kita akan semakin sulit bersaing dengan cabang-cabang dengan segala macam kualitas yang bervariasi.

Dengan demikian ini akan mempersulit kita untuk mencari nilai tambah. Misalnya seperti bisnis gorengan pisang, tahu dan bakwan. Pisang goreng saat ini harganya sekitar Rp 600 per buah. Seandainya kita ingin menjual Rp 2,000 per buah posisi kita akan sulit. Istilahnya kalau kita ingin mencari nilai tambah yang lebih besar, lebih baik menjual barang-barang yang tidak kelebihan suplai istilahnya Blue Ocean, laut yang masih biru belum berdarah-darah. Banyak sekali contohnya seperti: Kebab makanan dari Timur tengah, Sandwich, Donut, atau Kue & Coklat.

Sandwich misalnya sangat marak di Coffee Bean & Tea Leaf, Cafe Ohlala, maupun Dunkin Donuts, harganya Rp 15,000 - Rp 30,000 per buah. Bandingkan dengan harga
Burger Mc Donald Rp 7,000. Donut saat ini memiliki peluang yang lebih besar, saat
ini marak Donut dengan segala macam variasi, Donut kentang mulai banyak di beberapa tempat. Peluang Kedai Kopi akan sangat besar di Indonesia. Saat ini perkembangan Kopi Starbucks, Coffee Bean atau Tator Coffee (Tanah Toraja) marak di Mal-Mal kelas

atas. Ini akan meluas ke seluruh pelosok kota-kota di Indonesia. Belum lagi ekspansi Kedai Kopi dari Singapura dan Malaysia seperti Kaya Toast. Saat ini banyak sekali sekolah masak di Indoensia dengan kulaitas hotel bintang 5 dengan biaya Rp 150,000 per 2 resep kue. Misalnya lapis legit & bikang ambon, dll. Sekolah kue Coklat juga marak di Jakarta, siswanya tidak hanya Ibu-ibu bahkan anak-anak perempuan dan laki-laki.

Jawaban 2:

Saran saya, lakukan 3 hal sebagai nilai tambah Burger Anda:

a. Jagalah kualitas, jangan sampai menjadi rotinya keras, atau kejunya kurang lumer, atau panggangannya kurang panas. Jagalah senantiasa kebersihan gerai Anda, baik itu pembungkus, maupun tatakan masak.

b. Berikan servis lebih, misalnya sediakan fruit tea, atau es puter, atau Es Teller. Bisnis minuman memiliki nilai tambah yang jauh lebih besar daripada makanan. Keuntungan bisnis minuman minimal 50% - 60%.

c. Bersiaplah dengan inovasi baru, misalnya burger ayam, burger tempe, burger poteina (protein nabati, bahan kedelai pengganti daging ayam). Antisipasi adanya wabah Flu Burung, pada saat wabah menyerang satu rumah sakit atau satu kampung, maka pemerintah akan melarang peternakan ayam. Saat itu makanan ayam goreng, ayam panggang atau Fried Chicken akan kesulitan, saat itu anda harus segera mengambil alih celah bisnis yang sangat luar biasa besar. Sediakan Burger Proteina Anti Flu Burung.

Ir. Goenardjoadi Goenawan, MM.
(Pemilik waralaba rekaman instant Talent Box,
penulis buku “Menjadi Kaya dengan Hati Nurani”).



BERGURU : bukan soal gagal atau berhasil ...

Pertanyaan:
Pertama saya ucapkan selamat atas penerbitan perdana Tabloid Untung. Dari namanya saya yakin, tabloid ini akan membuat pembacanya yakin, bisnis akan selalu untung. Amin. Saya tertarik dengan bisnis burger yang selama ini sangat marak. Ada dua hal yang ingin saya tanyakan:
1. Bagaimana memulai bisnis burger? buka sendiri atau beli franchise?
2. Banyak teman yang sudah buka bisnis burger dan gagal... saya jadi takut, tapi tetap ingin mencoba. Bgm caranya?
Terima kasih atas penjelasannya.
 
Wandi
Ciputat
 ----------------------------------------------------------------------------------------------
Jawaban 1:
Jika Anda masih benar-benar nol dalam pengalaman bisnis, boleh saja mulai dengan beli franchise dulu. Tujuan Anda dalam membeli franchise adalah belajar tentang sistem bisnis yang dipraktekkan di franchise tersebut sehingga bisa cepat berkembang (misalnya sistem insentif  untuk karyawan, sistem kontrol kerja karyawan, sistem bagi hasil dengan franchise, standar pelayanan ke pelanggan, sistem marketing dan lain-lain). Dengan mempelajari itu kelak jika Anda mau buka bisnis sendiri (burger atau yang lain), Anda sudah punya bekal yang lebih baik.  
 
Oya, dalam memilih perusahaan franchise (franchisor), tentu saja Anda perlu meneliti seberapa baik tingkat keberhasilan franchise tersebut.  Ada baiknya Anda berdialog dengan beberapa orang yang telah membeli franchise burger tersebut (franchisee), agar penilaian lebih akurat. 
 Jawaban 2:
Saya meyakini gagal atau sukses bukan tergantung pada jenis usahanya, melainkan pada kecerdikan kita dalam mengelola bisnis tersebut. Oya, kita perlu hati-hati menggunakan istilah banyak, sering dan kata lainnya yang biasanya membuat otak bawah sadar kita menerima sebagai sesuatu yang benar-benar sangat baik dan membuat kita benar-benar takut. 
 Jangan-jangan yang Anda katakan "banyak teman saya gagal" padahal baru 5 orang. Ah, itu sangat wajar. Pasti ada ratusan atau bahkan ribuan yang  sukses. Lihatlah yang sukses dan katakan dalam hati Anda berulang-ulang, bagaimana caranya agar Anda juga sukses. Jangan pernah bertanya pada diri sendiri apa risikonya jika Anda membuka bisnis burger, melainkan tanyakan apa risikonya jika Anda tidak membuka bisnis burger segera. Anda akan segera menemukan jawabannya. 
 Ya, jika tidak sekarang memulai bisnis, Anda akan ketinggalan dengan yang lain. Semoga sukses.

Jawaban oleh :

Ir Bambang Suharno

Indonesian Entrepreneur Society (IES)
Plasa 3 Pondok Indah Blok A-2, lantai 4.
Jl TB Simatupang, Jakarta 12310
Telp. 021.70228877, 75904486

Monday, November 26, 2007

BINCANG : Hendy Setiono, si 'Babarafi' yang 'Yummy'


Banyak orang mungkin belum mengenal nama ini, Hendy Setiono. Tapi di kalangan para pebisnis muda, nama ini sudah kesohor sebagai sosok yang fenomenal. Betapa tidak, usianya baru 24 tahun! Tapi prestasinya luar biasa. Tahun ini, tepatnya Oktober lalu, dia terpilih sebagai The Best Asia’s Young Entrepreneur 2006 versi majalah Bisnis Week. Dua kategori dia sabet sekaligus, yaitu sebagai yang terbaik pilihan dewan juri dan terhebat versi warga Asia yang mengirimkan sms pilihannya.

Hendy Setiono adalah pemilik Kebab Turki Babarafi dan Yummy Burger, berdomisili di Surabaya, Jawa Timur. Dalam rentang waktu hanya 3 tahun, Hendy berhasil memamahbiakkan Kebab Turki dan Yummy Burgernya, menjadi 70 cabang tersebar di seluruh Indonesia dengan sistem waralaba. Mungkin sepenggal kalimat dalam lagu Iwan Fals, cocok untuk menggambarkan kehebatan Hendy.

”Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu…”

Untuk mencapai prestasi itu, dia memang berkelahi dengan waktu, bertarung dengan risiko. Dia memilih drop out dari tempat kuliahnya, Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan berjuang membangun bisnisnya. Untuk menguliti sang muda yang bersinar ini, berikut wawancara UNTUNG dengan Hendy Setiono:

Bagaimana awal usaha Anda?

Awal mula saya berbisnis itu adalah Yummy Burger dan hot dog yang dijual dengan cara berkeliling dengan gerobak di Surabaya. Perkembangan bisnisnya lumayan tapi masih outlet mandiri. Bertambah dari satu lalu dua dan seterusnya. Dari penambahan outlet sendiri itu akhirnya berkembang dan saya gabung dengan kebab Turki. Awal mula dari kebab itu adalah bisnis burgernya. Nah sekarang burger dijadikan satu dengan kebab.

Permintaannya bagaimana saat itu?

Burger sendiri bagus perkembangannya, karena waktu itu (2003) belum ada penjual burger yang bergerilya seperti sekarang. Tapi begitu muncul penjualan burger yang bergerilya, maka saya harus mencari sesuatu yang baru. Sehingga akhirnya saya tambahi dengan menu Kebab Turki. Nah, sekarang justru Kebab Turkinya sebagai brand saya, dengan menu tambahan Yummy Burger. Kalau ada investor yang mau Yumy Burger ya harus membeli paket waralaba Kebab Turki. Tapi dahulu awal startnya ya Yummy Burger

Di Surabaya sendiri apakah banyak pebisnis burger?

Banyak. Jadi disamping yang dijalankan dengan cara francise gerilya itu, pemain lokal pun banyak yang menjajakan burger secara gerilya juga.

Untuk kelas nasional kan ada Edam, Edola, Salsa, Crispy dll. Kalau di Surabaya merk terkenalnya apa?

Pemain lokal Surabaya yang branded itu tidak ada. Hanya Yummy Burger. Tapi pemain seperti yang Anda sebutkan tadi banyak menyebar di Surabaya. Jadi para pemain nasional itu juga merambah Surabaya.

Tentang penghargaan pengusaha terbaik se-Asia, bisa Anda jelaskan?

Jadi ini adalah profil pengusaha berumur di bawah 25 tahu yang berasal dari negara-negara se Asia seperti Jepang, Hong Kong, India, Malaysia Arab, termasuk Indonesia. Yang mengadakan Bisnis Week Internasional dan ini ajang yang pertama kali. Dan kebetulan yang terpilih sebagai yang terbaik adalah Kebab Turki Babarafi dari Indonesia.

Jadi Mas Hendy sudah terpilih sebagai yang the Best? Selamat ya mas!!!

Sudah mas… terima kasih, terima kasih.

Apa kriterianya mas?

Kriterianya dilihat dari jalannya bisnis itu sendiri. Para finalis berasal dari berbagai bidang. Banyak yang berkecimpung di bidang IT, terus yang dari Dubai malah developer, dia bangun properti diatas pantai. Satu-satunya pengusaha makanan, ya hanya saya yang dari Indonesia. Dari situ dilakukan pemilihan voting via online dan juri. Saya meraih kedua-duanya, the best versi online dan pilihan juri Bisnis Week.

Dari Indonesia sendiri ada berapa pengusaha yang jadi finalis?

Dari Indonesia ada 4 dari 20-an finalis. Tapi mereka bukan dari makanan, kebanyakan dari disain dan IT.

Hebat! Buat Anda apa arti dari penghargaan ini?

Semoga bisa menjadi leverage, dan mudah-mudahan dengan penghargaan ini bisa mendongkrak omzet seluruh gerai Kebab Turki dan Yummy Burgernya.

Nah, Kebab Turki dan Yummy Burger sudah berapa outlet?

Sekarang sudah ada 70 outlet, di 13 kota besar. Kita ekspansi terus ya secara bertahap. Target tahun 2006 minimal bisa mencapai 100 cabang.

Apa sih mas rahasianya kok bisa sepesat ini?

Saya sendiri selalu berusaha berpikir positif dan maju. Nah untuk itu saya selalu mengikuti berbagai pelatihan dan seminar kewirausahaan dan pengembangan diri. Saya ikut Entrepreneur University yang digagas Purdie E Chandra Primagama, dan juga saya pengagum Tung Desem Waringin. Saya sudah sekitar 20 kali mengikuti seminar beliau di Surabaya atau di kota lain. Nah dari situ kan saya mendapatkan banyak ilmu baru…

Mas, Anda memulai usaha pada 2003, berarti usia Anda sekitar 20 atau 21 tahun. Bagaimana ceritanya?

Pada saat saya start usaha, berbarengan dengan berhenti kuliah. Sebelum di DO saya OD duluan. Nah kalau begitukan saya susah, mau kerja nggak ada yang mau terima. Kuliahpun saya kurang menikmati, di sana banyak orang pinternya. IP saya pas-pasan banget. Saya pikir saya tidak akan hebat menjadi programer. Nah, pada saat itu saya juga mengikuti seminarnya pak Purdie… saya ingat dia mengatakan, “kalau masih karyawan segara resign sedangkan yang mahasiswa jangan pinter-pinter. Kalau mau kaya, jadi pengusaha.”

Wah Anda sudah terkena virus pak Purdie ya. Lalu apa cita-cita atau mimpi mas Hendy saat ini?

Tentu setiap orang yang berbisnis harus punya mimpi. Saya sendiri punya impian, yang mengambil francise bukan hanya orang Indonesia. Dan bukan hanya orang Indonesia yang mengambil francise luar negeri. Tapi orang asing yang mengambil francise dari Indonesia. Nah, tampaknya mimpi saya itu akan segera terrealisasi…

Terakhir mas Hendy, saran Anda buat mereka yang baru atau akan berbisnis?

Kalau mau mulai usaha itu, yang terpenting adalah ada kemauan dari diri sendiri. Yang kedua adalah mulailah sekarang juga tidak ada kata menunda, karena hambatan akan selalu ada sekarang atau nanti memulainya. Jadi, kalau mau usaha, mulailah… action now!!!

SI SUKSES : Burger Blenger


Semua orang Jakarta terutama kalangan menengah, mengenal nama Burger Blenger. Namanya memang unik, blenger berarti edan, sesuatu yang di luar kebiasaan atau mendekati gila. Sesuai namanya, rasa Blenger memang blenger. Ukurannya di luar kebiasaan, jauh lebih besar dibanding burger kebanyakan sehingga bisa bikin konsumen blenger. Setidaknya itulah pengakuan para penggila Blenger Burger, yang rela antri setiap hari untuk mendapatkan beberapa potong burger.

Siapa sebenarnya Burger Blenger ini? Ternyata mereka bukan berasal dari perusahaan besar, melainkan berawal dari usaha mandiri Erik Kadarman Subarna, seorang mantan karyawan Grup Bakrie. Dia seorang ahli IT, tapi hobi kuliner. Kemampuannya membuat burger diperoleh ketika dia kuliah di Amerika Serikat. Dengan coba-coba resep dan berkali-kali trial and error, Erik berhasil membuat burger yang disebutnya blenger.

Tahun 2003 lalu, Erik memberanikan diri membuka usaha burger di kawasan Bintaro Jakarta Selatan, dengan modal Rp 7 juta. Impian Erik dan keluarganya untuk hidup lebih baik, memberikan dorongan kuat kepada mereka untuk membuka usaha ini. Hasilnya di luar dugaan. Dalam tempo singkat, Burger Blenger Bintaro diserbu pembeli, bahkan sampai diantri setiap hari. Padahal harga yang dipatok, lebih mahal dibanding burger jalanan yaitu Rp 9 ribu – 10 ribu.

Keberhasilan di Bintaro membuat Erik lebih serius menggarap bisnisnya, dan membuka cabang baru di Blok M, Jakarta Selatan. Sama seperti di Bintaro, gerai barunya inipun menjadi serbuan konsumen. Banyak konsumen yang harus gigit jari tidak kebagian. Akibatnya, Burger Blenger menjadi buah bibir dan diliput berbagai media massa. Bahkan, harian Kompas beberapa kali menampilkan sosok Burger Blenger yang dianggap fenomenal di kalangan menengah perkotaan.

Burger ini memang fenomenal karena dari satu gerai saja, ribuan burger terjual dengan cara diantri konsumen setiap hari. Konsumen sepertinya tidak bosan-bosan mengkonsumsi burger yang satu ini. Dihitung-hitung, tidak kurang dari 5000 burger terjual setiap hari. Dengan harga per potong Rp 10 ribu, maka omzet Burger Blenger mencapai Rp 50 juta per hari, atau Rp 1,5 miliar per bulan. Belum termasuk penjualan menu lainnya seperti minuman. Dasyat untuk ukuran burger lokal jalanan.

Melihat perkembangan yang pesat itu, Erik menawarkan Burger Blenger kepada investor dengan sistem waralaba. Meski sempat gagal di awal karena beberapa investor ingkar, Burger Blenger tetap ditawarkan secara waralaba sampai sekarang, bahkan lebih serius lagi penggarapannya. Sejauh ini, Burger Blenger baru beredar di Jakarta.

Kini, Erik Kadarman sudah menikmati kemakmuran berkat burger. Dulu hanya menempati rumah sederhana sebagai karyawan, sekarang Erik memiliki 3 rumah sangat memadai plus beberapa mobil. Tahun ini, dia dan keluarganya pun akan menunaikan ibadah haji, sebagai rasa syukur atas keberhasilan Burger Blenger. Makmur dunia dan akhirat!!!

Beberapa faktor sukses Burger Blenger:

- Berhasil menciptakan burger yang berbeda dengan yang lain.

- Rasa sangat menunjang.

- Digarap dengan sangat serius dan fokus.

- Ekspos media yang sangat gencar.

SI SUKSES : Made "Edam Burger" Bagiana


Siapa yang tak kenal Edam Burger? Tapi siapa yang mengenal nama Made Ngurah Bagiana? Nama Edam memang lebih terkenal ketimbang Made Ngurah. Padahal, Edam berasal dari kebalikan namanya. Made jadi Edam.

Suatu hari, Made kedatangan seorang wartawan. Dia bertanya, “Dari siapa Anda tahu saya?”. Sang wartawan itu menjawab, “Wah siapa yang tak kenal Bapak?” katanya yakin sambil tersenyum. Made menukas dengan cepat, “Siapa bilang semua orang kenal saya? Tetangga-tetangga di sekitar saya aja belum tentu semua kenal saya…” Wartawan itu melongo, dia tidak menyangka, pujiannya justru jadi bumerang. Made memang suka ceplas-ceplos dalam berbicara, dan tak suka dipuji berlebihan. Dia mau yang sederhana-sederhana saja. Walaupun prestasinya harus diakui… luar biasa!

Bicara burger lokal memang tidak bisa lepas dari Edam. Boleh disebut, dialah salah satu pebisnis burger yang paling fenomenal di Indonesia. Bayangkan… outletnya kini sudah menyentuh angka 2.800. Yang bisa menyamainya mungkin hanya Indomaret!!! Setiap hari, puluhan ribu keping roti berhasil dijualnya.

Made Ngurah Bagiana, kelahiran Bali 1956, memulai bisnis burger secara tidak sengaja pada 1990. Dia melihat pedagang keliling burger, dan kemudian mencobanya. Dari mengayuh sendiri, Made mengembangkan burger kelilingnya dari satu perumahan ke perumahan lain di wilayah Jakarta Timur. Perlahan tapi pasti, Made sukses membiakkan gerobak burger kelilingnya menjadi puluhan buah. Dan dia pun pensiun menjadi pengayuh gerobak, lalu menjelma menjadi juragan burger.

Sebelum menjadi pengusaha burger, Made sempat mencicipi berbagai profesi mulai dari tukang cuci, kondektur bis kota PPD bahkan sempat menjadi preman. “Tapi bukan preman yang bringas. Hanya preman yang nakal, seperti jarang bayar kalau naik bus, hehehe…” kata Made mengingat masa lalunya. Tapi garis hidup berkata lain, berkat kegigihannya bertahan di kota Jakarta, dia menemukan jalan terbaik yaitu menjadi pengusaha burger. Dia ingin seluruh rakyat Indonesia terutama masyarakat menengah bawah, bisa menikmati burger, makanan orang Londo, yang sehat dan bergizi.

Tahun 2000, menjadi titik tolak lain buat Made dalam mengembangkan bisnisnya. Setelah sukses dengan burger gerobak keliling, dia mulai melebarkan sayap secara kemitraan, semacam semi waralaba. Dia menawarkan kesuksesan bisnis burgernya ke setiap orang, dengan iming-iming bakal menjadi wirausahawan mandiri. Dia mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak seperti pengusaha Bob Sadino dan grup usaha Bogasari.

Dalam tempo yang tidak terlalu lama, bisnis Edam berkembang dengan sangat pesat. Dari puluhan berubah menjadi seratusan, lima ratusan bahkan sampai ribuan. “Saya sendiri tidak tahu jumlah pastinya berapa. Nggak sempat ngitung…” kata Made tanpa bermaksud menyombongkan diri. Dia memang dikenal sangat sederhana. Bicara seadaanya, berpakaian biasa saja, dan tidak pernah menunjukkan bahwa dia adalah pebisnis burger lokal yang beromzet terbesar.

Catatan yang berkembang menyebutkan, Edam Burger sudah memiliki sekitar 2800 gerai pada Oktober lalu. Sebuah pencapaian yang luar biasa, dan akan terus bertambah karena Made masih sibuk untuk terus berkelana ke seluruh Indonesia, menyebarkan virus burgernya. Kini, sang mantan preman itu sudah bisa menikmati kemakmuran, yang tidak pernah diimpikan sebelumnya.

Made sangat fokus mengembangkan burgernya, dan tidak terpengaruh dengan iming-iming bisnis lainnya yang mungkin lebih menggiurkan. Buat dia, burgerlah yang paling menggiurkan dan sudah dibuktikannya. “Banyak orang yang baru berhasil di satu bidang, coba merambah bidang lainnya. Saya tidak. Saya tetap di bisnis makanan, khususnya burger.” ungkap Made membuka rahasia suksesnya.

Beberapa kunci sukses Edam:

  1. Mampu menemukan bidang bisnis baru yang masih belum dilirik orang lain, ketika dia memulai.
  2. Memberikan terobosan burger dengan harga murah, tapi rasanya oke.
  3. Membuat terobosan menawarkan bisnis burger dengan cara semi waralaba.
  4. Sangat gencar mempromosikan burgernya melalui media massa, dengan cara kemitraan, tanpa mengeluarkan banyak biaya.
  5. Menjalin kerja sama yang sangat erat dengan pebisnis besar seperti Kemfood milik Bob Sadino dan produsen tepung Bogasari.
  6. Rajin membuat bahan baru seperti roti, daging atau saus. Sekarang Edam punya 12 pabrik roti.
  7. Giat berseminar dari satu kota ke kota lainnya.
  8. Meninggalkan prinsip lama berbisnis sendirian.
  9. Sangat fleksibel dalam menentukan biaya investasi buat calon mitra. Sisi sosial sangat kental dikembangkan Edam, antara lain memberikan paket usaha gratis buat orang tak mampu.
  10. Dia sangat fokus, fokus dan fokus dengan burgernya.

SEJARAH : Burger darimana asalmu ?

Setiap hal pasti ada sejarahnya. Demikian juga burger. Dari mana sih sebenarnya burger berasal? Ada yang mengatakan dari Eropa, tapi banyak juga yang menyebut Amerika sebagai tanah kelahiran burger. Lalu mana yang benar? Benar semuanya, karena burger memang sudah sangat akrab dengan orang Amerika dan Eropa sejak puluhan tahun silam. Walaupun sejarh kuno juga mencatat, makanan sejenis burger sudah dikenal sejak jaman Romawi.

Alkisah, dua bersaudara Frank dan Charles Menches, yang tinggal di kawasan Hamburg, New York, yang mengikuti sebuah bazaar pada 1885. Tapi mereka datang terlambat, dan terburu-buru membuat menu baru. Semacam sandwich tapi dikombinasikan sehingga menjadi seperti burger sekarang. Kisah lainnya menyebutkan seorang Texas Fletcher Davislah, yang pertama kali membuat burger. Pada awal 1800-an, dia berjualan makan siang, sejenis roti buatan sendiri yang dipasangkan dengan daging. Masih banyak kisah lain seputar burger.

Lalu dari sisi bahasa… dari mana asal nama Burger? Ini juga banyak versi. Dari Eropa muncul klaim, bawah burger berasal dari kata Hamburger, yang berarti segala sesuatu yang muncul dari kota Hamburg Jerman, termasuk makanannya. Jadi kata mereka, salah kalau orang menyebut Hamburger sebagai gabungan dari ham (semacam daging) dengan burger. Kenyataannya, semua yang berasal dari Hamburg memang disebut Hamburger, seperti juga semua yang berasal dari Frankfurt sebagai Frankfurter. Anda pasti tahu Hotdog. Nah, hotdog ini nama lainnya adalah Franfurter.

Di berbagai wilayah lainnya, nama burger juga dikenal dengan istilah yang berbeda. Misalnya di Inggris, mereka tidak terlalu familiar dengan burger, melainkan lebih suka menamainya sebagai sandwich. Sama seperti di Arab Saudi. Lalu muncul nama tambahan untuk hamburger, seperti cheeseburger, riseburger dll. Bahkan beberapa pebisnis makanan di Amerika, mempatenkan burger-burger temuan mereka.

Sejarah mencatat, burger sudah menjadi makanan favorit orang Amerika Serikat sejak tahun 1950-an (ada yang mengatakan, burger ini awalnya menjadi makanan wajib para pekerja kasar seperti sopir truk). Saat itu muncul sebuah restoran khusus burger yang didirikan oleh seorang pilot di wilayah Texas. Nama restorannya, Whataburger, yang sampai sekarang masih eksis dan mengembangkan bisnisnya dengan sistem waralaba. Di Amerika, Whataburger memiliki ribuan cabang. Tapi mereka gagal mengembangkan resto burgernya ke luar Amerika.

Pada 1950-an juga, muncul restoran burger dengan nama unik berbau Jepang, yaitu Ninjaburger. Meski berbau Jepang, restoran burger ini terletak di salah satu negara bagian Amerika Serikat. Sampai sekarang, Ninjaburger berkembang dengan baik, meskipun tidak bisa berekspansi ke luar Amerika seperti Mc D.

Beberapa tahun kemudian hadir restoran burger yang kelak menjadi sangat terkenal, Burger King yang berdiri kota Miami. Burger King kemudian berkembang sangat pesat, mengalahkan nama besar Whataburger. Alhasil selama puluhan tahun, Burger King kini memiliki 11.200 gerai, sebagian milik para waralaba. Pada tahun yang sama yaitu 1954, berdiri pula sebuah resto yang menawarkan burger. Anda mungkin sudah mendengar nama resto ini… Mc Donald. Sekarang, Mc D punya 30 ribu gerai di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Jumlah pelanggan yang dilayani mencapai 50 juta orang setiap hari.

Amerika pula yang mengekspor banyak rumah makan ala mereka, yang juga menawarkan burger. Seperti KFC, Wendys atau A&W. Mereka menjadi penguasa makanan cepat saji termasuk burger selama puluhan tahun di seluruh dunia. Burger lokal baru sedikit saja mencicipi gurihnya pasar…

Mengapa Gagal Berbisnis Burger ?



Mengelola suatu usaha atau bisnis tidaklah mudah, baik itu usaha yang skalanya kecil apalagi usaha yang skalanya besar. Dalam mengelola usaha itu ada ilmunya, ada strateginya dan harus ada intuisi atau insting bisnisnya. Usaha bisa berkembang menjadi besar dengan menerapkan berbagai ilmu, dari ilmu manajemen sampai ilmu komunikasi, dari ilmu sosial, ilmu ekonomi sampai ke tehnik. Banyak perusahaan tumbuh menjadi perusahaan yang tetap bertahan dan terus berkembang karena tepatnya dia mengambil strategi atau langkah dalam menjalankan usahanya. Demikian juga halnya dengan intuisi bisnis yang hebat dan tepat dapat membuat usahanya melesat dengan cepat dalam perkembangannya.

Demikian pula dalam mengelola usaha burger. Lalu apa saja sih yang menyebabkan sebagian pengusaha burger mengalami kegagalan?

Dari hasil evaluasi di lapangan ditemukan bahwa sebagian besar yang berbisnis burger gagal atau bangkrut, pertama karena kesalahan dalam memilih lokasi.

Kenapa lokasi?
Karena pemilihan lokasi yang salah membuat burgernya menjadi tidak laku. Seperti di tempat yang sepi, jauh dari tempat tinggal penduduk, atau memilih lokasi di tempat yang sewanya tinggi sehingga harga jualnya mahal. Jadi untuk memilih lokasi carilah yang strategis, tempat banyak orang melakukan aktivitas atau banyak yang melewati tempat itu, seperti sekolah, kampus, minimarket, perumahan, bazaar.

Kegagalan kedua disebabkan rasanya yang tidak pas atau tidak sesuai dengan lidah masyarakat setempat. Sehingga tidak ada yang mau membeli burger tersebut. Burger adalah makanan yang berasal dari dunia barat (Amerika dan Eropa). Lidah mereka tentu saja berbeda dengan lidah orang Indonesia. Maka perlu penyesuaian, agar burger yang dijajakan, bisa dinikmati oleh lidah orang Indonesia.

Kegagalan ketiga akibat pengelolanya tidak menjaga kebersihan. Karena bisnis makanan itu harus mengutamakan kebersihan dan higienis. Bagaimana mungkin konsumen mau datang, kalau tempat menjual burger dipenuhi dengan lalat? Di sana sini bertumpuk-tumpuk sampah atau kardus bekas. Ingat, kebersihan sangat penting dalam bisnis makanan, karena bakal berdampak pada kesehatan. Anda harus menjamin bahwa konsumen tidak akan sakit perut gara-gara burger Anda!

Kegagalan keempat disebabkan oleh ketidakkonsistenan dari penjual burger. Penjual burger terkadang buka kadang tutup, sehingga banyak pembeli yang kecewa. Dan kekecewaan dari calon pembeli merupakan harga mahal yang harus dibayar oleh penjual.

Pebisnis burger juga bisa bangkrut akibat kalah bersaing dengan pebisnis burger lainnya. Biasanya dia sudah puas dengan apa yang ada, sehingga tidak memperhatikan langkah-langkah dari kompetitor. Misalnya, harga jual dia ternyata lebih mahal ketimbang harga jual burger kompetitor. Atau kompetitor menyediakan variasi burger yang lebih banyak. Sedangkan dia hanya itu-itu saja selama bertahun-tahun.

Terakhir, mereka gagal karena berhenti berjualan! Begitu lokasinya keliru, begitu banyak konsumen yang komplain, karena tidak laku-laku, dia tidak memperbaiki kesalahannya, melainkan langsung putus asa. Dia berhenti berjualan. Inilah kegagalan yang sesungguhnya, yaitu berhenti melanjutkan bisnis Anda. Game Over!!!

Hitung-hitungan bisnis Burger

PERHITUNGAN BISNIS BURGER

Burger KU
Omset per bulan Rp 12.245.500

Komisi karyawan Rp 382.300,-
Gaji karyawan Rp 150.000,-
Uang makan karyawan Rp 232.500

Sewa Tempat Rp 275.000,-
Biaya Operasi Lainya Rp 500.000
Laba bersih perbulan Rp 4.872.485,-

Berarti jika Anda berinvestasi Rp 3.750.000,- untuk big counter hanya dalam waktu 1 bulan modal sudah kembali.

Picazzo

Modal awal 3 Juta
Bahan Baku Rp 500,000
Karyawan, Sewa tempat (per bulan) Rp 1 Juta
Penjualan minimal 25 porsi x @Rp3375 x 30 hari = Rp 2,5 Juta
Profit perkiraan per bulan 1 jutaan

Mr Burger

Total Investasi Awal Rp 3.135.500
Perkiraan Penjualan 50 X Rp 1500 x 30 hari = Rp 2,250,000
Perkiraan Biaya perbulan
- Sewa Tempat = Rp 250,000
- Gaji Pegawai = Rp 600,000
Total Biaya perbulan adalah = Rp 850,000
Total Keuntungan Per Bulan = Rp 2,250,000 - Rp 850,000 = Rp 1,400,000

Sunday, November 25, 2007

Mulailah dari langkah pertama


Banyak orang bingung bagaimana memulai bisnis, termasuk bisnis burger. Sebuah nasihat menarik disampaikan oleh I Made Bagiana, pemilik jaringan Edam Burger. “Saya selalu memulai sebuah usaha dengan satu langkah pertama,” katanya.

“Banyak orang yang memulai dengan banyak langkah di awal, tapi akhirnya gagal karena tidak fokus.”Memang penyakit utama pemula adalah ingin sesuatu berhasil secepatnya, sehingga melangkah dengan beberapa aksi, tapi tidak fokus. Alhasil, bukan kesuksesan yang diraih, tapi kegagalan yang dituai. Lebih parah lagi, karena ketika gagal mereka langsung berhenti alias putus asa. Padahal, kalau mereka tetap bertahan dan memperbaiki diri, bukan mustahil mereka bakal menjadi pengusaha sukses.

Dalam berbisnis burger ada beberapa cara yang bisa dilakukan:

  1. Membuat Usaha Burger Sendiri.

Kelebihannya:

- Anda bebas melakukan apa saja, karena ini merupakan usaha sendiri. Kebebasan terutama dari segi rasa dan ekspansi. Sejumlah pengusaha burger, sukses berbisnis sendiri dan memiliki beberapa gerai atau gerobak keliling. Omzet mereka bisa mencapai puluhan juta per hari.

- Tidak terikat dengan pihak lain.

- Bebas mengubah komposisi bila terjadi perubahan harga secara mendadak

- Bebas menentukan harga jual

- Lebih cepat mengambil keputusan bila ada perubahan mendadak.

Kekurangan:

- Harus melakukan trial dan error sendiri, dalam segala hal, baik rasa maupun lokasi.

- Investasi cukup besar

- Harus mengembangkan brand sendirian.

Jika berbisnis burger sendiri, Anda harus menyediakan semua sarana dan prasarana sendiri. Yaitu:
  1. Peralatan, mulai dari penggorengan, kompor gas, sampai bungkus burgernya. Semua barang ini bisa diperoleh di pasar atau hypermarket dengan harga bervariasi. Kami sarankan Anda mencarinya di pasar tradisional, karena harganya sangat miring. Investasi untuk peralatan bervariasi mulai dari Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000.
  2. Gerai atau gerobak. Anda harus punya gerai atau gerobak, baik gerobak sepeda atau sepeda motor. Untuk gerai, banyak pilihan mulai dari gerai statis sampai gerai tenda yang mudah dicopot. Anda pun bisa membuat sendiri atau memesan pada pembuat gerai profesional. Sedangkan gerobak, biasanya dibuat oleh produsen profesional. Investasi untuk gerai juga bervariasi antara Rp 500.000 sampai Rp 1.500.000.
  3. Bahan baku. Sebagai pebisnis sendiri, maka bahan baku harus Anda sediakan lalu mengolahnya sendiri. Sejumlah pengusaha burger, sangat kreatif dengan menciptakan ramuan saus khusus sehingga punya cita rasa sendiri. Roti burger bisa diperoleh di banyak tempat, baik pasar tradisional maupun pasar modern. Hanya perlu hati-hati, karena harganya sangat bervariasi. Anda harus menemukan harga roti yang paling sesuai dengan harga jual Anda. Untuk bahan baku, investasi yang Anda keluarkan berkisar Rp 300.000.

Tips Berbisnis Burger Sendiri:

- Jangan bosan berinovasi dan berimprovisasi terutama soal rasa.

- Hitung bahan baku secara cermat, sesuaikan dengan harga jual.

- Ingat prinsip berbisnis makanan, yaitu Bersih, Murah, Bermutu, Mudah penyajiannya dan Ramah pelayanannya.

- Pilih lokasi yang sangat strategis seperti sekolah, kampus, kantin atau pusat keramaian (pasar atau mall)

B. Menjadi Francisee

Salah satu cara berbisnis yang dianggap terbaik buat pemula adalah dengan menjadi francisee, atau ikut menjalankan bisnis yang sudah lebih dulu berhasil. Misalnya, Anda mengeluarkan sejumlah uang untuk menjadi pedagang burger Edola, Edam atau Mr Burger. Mereka sudah terbukti berhasil, sehingga Anda sebagai francisee (mitra usaha) punya risiko gagal lebih kecil.

Keuntungan:

- Tidak perlu repot dengan urusan tetek bengek, seperti rasa dan manajemen.

- Sarana dan prasarana sudah disiapkan.

- Mereka sudah berpengalaman, sehingga Anda bisa belajar.

- Investasi relatif rendah

- Risiko gagal juga lebih rendah dibanding bisnis sendiri.

- Ada pihak lain yang mengontrol Anda

- Ada pihak lain yang memberikan pelatihan

- Biasanya merk sudah terkenal

Kekurangan:

- Tidak punya kebebasan

- Terikat pada pemilik merk/franchisor

- Lama dalam mengambil keputusan

- Tidak bisa berimprovisasi dalam soal rasa

Tips berbisnis dengan cara waralaba:

- Pilih perusahaan burger yang sudah berpengalaman, berkualitas, laris dan punya sistem bagus.

- Pelajari mereka melalui franchisee lain yang sudah lama bekerja sama. Bila mereka bisa sukses, berarti Anda juga bisa.

- Jangan hanya terpaku pada besar/kecilnya investasi awal. Perhitungkan pula investasi berikutnya, seperti pembelian bahan baku, transportasi dan biaya operasional. Semua berpengaruh terhadap profit Anda.

- Tentukan lokasi yang paling baik berdasarkan pengalaman franchisee yang lain.

- Ikuti semua aturan dan batasan yang sudah dibuat franchisor. Kalaupun membuat perubahan atau penyesuaian seperti dalam soal harga, komunikasikan/diskusikan dengan franchisor.

Selamat mengayunkan langkah pertama Anda. Semoga sukses!