Google

Tuesday, January 15, 2008

Januari, Edisi Bisnis Biro Perjalanan


Bohong, kalau manusia modern tidak pernalah melakukan travelling atau jamak disebut jalan-jalan. Jalan-jalan, selain karena tuntutan pekerjaan, juga tuntutan jiwa untuk melepas kepenatan.

Dan, saat berjalan-jalan, terutama ke luar kota, kita harus menggunakan kendaraan umum --apapun itu bentuknya. Dan tak jarang pula, kita tak tahu dan tak punya waktu untuk mengurusnya.

Di Lokasi tujuanpun kadang sama. Kita inginnya tak lagi dipusingkan soal sewa kamar hotel, kalau bisa tinggal bayar dan menikmati segala fasilitasnya. Sehingga, jalan-jalan menjadi lebih berasa. Berasanya naknya.

Semakin tingginya tingkat tuntutan hidup, situasi di luar yang mudah memicu stress membuat usaha biro perjalanan umum atau perjalanan wisata makin diperlukan. Namun, apa saja sih perlu disiapkan untuk membuka bisnis ini?

Ikuti UNTUNG edisi Januari yang akan menelisik seluk-beluk bisnis travelling ini. Dari A sampai Z. Anda yang telah berkiprah di bisnis ini, silakan berkontribusi, cukup kirimkan tulisan dan foto 72 dpi ke : basriadhi@cbn.net.id

mau psang iklan juga bisa, cukup Rp 200 ribu, iklan anda akan tayang 24 jam sehari, 7 hari sehinggu selama sebulan penuh.

Wednesday, December 26, 2007

IKLAN

SI SUKSES : Pak Heri dari Bogor


Vivere pericoloso. Demikian slogan yang kira-kira berarti menyerempet-nyerempet bahaya ini banyak dijalani oleh lelaki asal Bogor ini. Menikah di usia muda, menjadikannya pejuang tangguh, serta membawanya pada jenjang sukses sebagai agen koran di kota Bogor. Kabarnya, bila ingin sukses diraih, maka sesekali serempetlah bahaya.

Pak Heri, demikian dia biasa dipanggil. Pangkalan korannya berupa tenda, dengan gudang mobil Espass-nya terlihat tiap hari di dalam kawasan Taman Topi Bogor. Dengan jangkauan distribusi se Bogor dan sebagian wilayah Sukabumi menjadikan Pak Heri agen yang paling banyak dicari penerbit koran dan majalah saat ini. Ditambah lagi, riwayat pembayaran yang bagus, menjadi catatan tersendiri bagi agen ini. Selain menguasai ratusan pengecer, pak Heri dengan Heri agency-nya juga melayani ratusan pelanggan serta memiliki beberapa kios koran sendiri.

Adakah semua kesuksesan pak Heri yang lahir di Bogor 28 Juni 1966 ini dicapai dalam waktu satu malam? Berikut kisah perjuangannya, yang bisa kita ambil tauladannya.

Awalnya sebagai Pengecer.

Tahun 1995 adalah titik awal kehidupan Pak Heri. Menikah pada usia muda, pak Heri kembali ke Bogor setelah bertahun-tahun mengadu nasib di Jakarta. Mulanya dia hanya tenaga security yang kemudian menjadi tenaga gudang di sebuah pabrik pembuatan pakan ayam. Kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik, karena gaji yang tak lagi cukup memenuhi kebutuhan, membuat lelaki ini memutuskan kelur dari pekerjaannya dan memutuskan merintis bisnis sendiri.

Memulai usahanya dengan berjualan baju, pak Heri mantap menapakkan langkahnya. Di sela istrihatnya di hari Sabtu dan Minggu, dia ikut-ikut tetangganya yang menjadi pengecer koran untuk berjualan beberapa koran (belakangan, hingga meninggalnya, sang tetangga ini tetap menjadi pengecer koran). Malang tak dapat diraih, mujur tak dapat ditolak; usaha jualan bajunya kurang berkembang dengan baik, sehingga pak Heri memutuskan fokus menjadi pengecer koran.

Setiap pagi, dia membeli koran di seorang agen di Pasar Bogor. Dengan omzet 80 ribu sehari, dia menjajakan dagangannya keliling kota Bogor dengan BERJALAN KAKI. Semua dijalaninya hingga tahun 2000. Namun, karena merasa tak ada peningkatan berarti dari usahanya menjadi pengecer koran, pak Heri tergoda untuk kembali bekerja. Menjadi karyawan di sebuah pabrik sepatu hingga tahun 2005. Pak Heri diberhentikan karena kontrak kerjanya habis.

Fokus, ulet dan kerja keras.

Ini adalah titik balik. Selepas dari PHK pabrik sepatu itu, pak Heri tak lantas tenggelam dalam kesedihan. Dengan modal 5 juta rupiah, dia mulai menghubungi teman-teman dan jaringan lamanya di bisnis koran. Dan mulai pak Heri menjadi sub agen, atau naik pangkat ketimbang 5 tahun lalu yang hanya pengecer kecil. Dengan fokus, ulet dan tak kenal lelah, pak Heri tetap berkeliling bogor untuk mengembangkan jaringan korannya. Semua dijalani sendiri, tanpa merasa risih atau canggung. Dari awalnya 10 pengecer, hingga kini jumlah pengecernya sudah lebih dari 150 orang.

Menjadi sub agen dengan jaringan yang luas, adalah berkah tersendiri. Penerbit-penerbit mulai meliriknya. Hingga, datanglah utusan dari koran SINDO yang menjadikannya agen utama di kota Bogor.

Kini, dengan jaringannya, omzet yang diraih pak Heri tak kurang dari 100 juta per bulan. Dengan keuntungan rata-rata 20%, maka gaji karyawan penerbitpun tak bisa menyamai pendapatan pak Heri saat ini.

Bapak 3 anak, dengan 1 cucu ini kita tinggal menikmati buah kerja keras dan keuletannya dengan rumahnya yang adem di bilangan Ciomas, mobil serta motor dan anak-anak yang sebagian telah menyelesaikan banku kuliah. “Ini adalah pelabuhan terakhir”, ujarnya mantap. Dan dengan menerawang, pak Heri kini tinggal mengejar satu impiannya : memiliki lokasi jualan yang permanen, sehingga anak-anaknya bisa ikut mewarisi bisnisnya ini. (BAS)

Wednesday, December 12, 2007

SI SUKSES : Davi Loper yang Insinyur


DIKUTIP dari PIKIRAN RAKYAT Online


Hari masih gelap, malam baru saja usai bertugas. Sekira pukul 3.00 WIB kesibukan pecah di sebuah rumah di kawasan Padasuka Bandung Timur. Laki-laki muda, wajahnya selalu tersenyum, matanya hampir tak pernah terpejam lelap, ia selalu terjaga menunggu subuh turun menyelimuti bumi Parahyangan. Saat itulah ia terjaga dan bergegas bangun.



Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah sibuk memilah mana koran-koran yang harus dikembalikan, sisa penjualan yang tidak terjual di hari kemarin. Usai salat Subuh, laki-laki yang selalu tampak energik itu, bergegas dengan motornya menerobos dinginnya pagi. Ia keluar rumah untuk menjemput ratusan koran Pikiran Rakyat dan yang lainnya dari agen H. Iskandar di Bandung Timur. Koran-koran itu, lalu diantarkannya ke tiga outlet yang sudah menjadi langganannya sejak dulu. Barulah ia memulai aktivitasnya mengantarkan koran Pikiran Rakyat dari pintu ke pintu pelanggan yang kini tersebar di tiga wilayah, Antapani, Arcamanik dan daerah Ujungberung Bandung, termasuk Padasuka wilayah tempat tinggalnya.

Begitulah hari-hari Davi Sutaryan. Laki-laki kelahiran Bandung 15 Desember 1975 ini tampak selalu bugar, tidak pernah mengeluh membangun kesibukannya setiap hari. Bahkan tanpa lelah, ia harus berjuang sendirian menciptakan pekerjaan demi kelangsungan hidupnya.

Ia paling pantang membuka kedua telapak tangannya untuk meminta uang dari kedua orang tuanya yang telah melahirkannya. Pasangan Sukaesih dan Endang Sukandar, kedua orang tuanya amat bangga pada Davi, yang juga menjadi tulang punggung keluarganya. Sejak tamat STM, boleh dikatakan Sutaryan muda tidak lagi meminta uang jajan dari orang tuanya, termasuk uang kuliah ketika masih berstatus mahasiswa teknik mesin di Unjani.

Sutaryan tidak pernah merasa malu meski ia menjadi seorang pengantar (loper) koran. Ketika ia masih kuliah, ia juga tidak menutupi pekerjaannya. Rekan-rekannya mahasiswa malah mengagumi perjuangan yang dilakukannya itu. Dulu ia berjualan koran dengan berjalan kaki, lalu mampu membeli sepeda, dan sekarang ia sudah memiliki dua buah motor.

"Saya tertarik pekerjaan ini, terus terang karena cerita teman. Cerita tentang pekerjaan ini begitu menantang. Hati saya membatin, kenapa saya tidak mencobanya? Ternyata benar, berkat Pikiran Rakyat saya bisa seperti sekarang ini, karena di antara koran yang saya order, paling banyak permintaan adalah 'PR'," ujar Sutaryan, mengembangkan senyum optimistis.

Hingga hari ini, ia selalu memesan 250 eksemplar koran Pikiran Rakyat, dan 500 eksemplar di hari Sabtu dan Minggu. "Sebanyak itu nyaris selalu habis setiap hari. Kalau Minggu saya ambil Pikiran Rakyat sampai 500 eksemplar. Ecerannya termasuk kuat di hari Sabtu dan Minggu," ujar Sutaryan yang pernah menjajal pekerjaan di sebuah perusahaan rokok tapi hanya bertahan tiga bulan.

"Pernah saya berpikir untuk menjadi pegawai negeri, tetapi orang bilang, saya harus membayar Rp 50 juta sebagai jaminan. Saya kaget mendengar ajakan itu. Uang dari mana? Sekarang saya tidak pernah bermimpi mau jadi pegawai negeri lagi," katanya getir.

Ia tertarik menjadi seorang loper koran sejak masih duduk di bangku SMP. Kini ia telah berhasil memetik gelar insinyur teknik mesin di Unjani tahun 2000. Sutaryan mengakui itu semua berkat pekerjaannya sebagai tukang pengantar koran.

"Tidak ada pekerjaan yang lebih baik kecuali menjadi pengantar koran seperti sekarang ini. Saya pernah bekerja di luar pengantar koran, tetapi tidak betah, saya selalu mengantuk," ujar Sutaryan di suatu subuh, saat mengantarkan koran di daerah Antapani Bandung.

Selepas lulus STM, pekerjaan itu ia tekuni lebih serius di tahun 1993. Sambil kuliah di Unjani, ia terus setia menekuni profesinya itu, sehingga berhasil memboyong ijazah sarjana dari jurusan teknik mesin. "Boleh dibilang saya memperoleh biaya kuliah dari menjual 'PR'. Koran inilah yang paling banyak saya jual, yang lainnya hanya pelengkap," kata Sutaryan.

Dari suatu eksemplar koran ia bisa mengantongi keuntungan Rp 1.000,00, tabloid Rp 2.000,00, dan majalah Rp 3.000,00 hingga Rp 4.000,00. Rata-rata penghasilan bersih yang dibawa pulang ke rumah setiap bulan, lebih dari Rp 2 juta. Padahal jam kerjanya mulai pukul 3.00 WIB hingga pukul 8.00 WIB.

"Sekarang saya tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Kalau saya tekuni dengan serius, ternyata dari koran ini saya bisa hidup berkecukupan," katanya bangga. Sutaryan, kini sudah memiliki dua orang bawahan yang bertugas membantu mengantarkan koran pada ratusan pelanggan lainnya. Ia kini tengah merintis menjadi subagen.

"Ada juga yang meminta koran dari saya untuk mereka jual ke pelanggan, alhamdulillah,... ini semua berkat koran 'PR'," kata Sutaryan bangga.

Ditanya sukadukanya menjadi loper koran, Davi Sutaryan yang masih bujangan ini tersenyum, kepalanya tertunduk. "Saya sering kena damprat pelanggan koran kalau koran terlambat tiba di tangan pelanggan, atau kalau harganya naik, pelanggan suka ngomel. Menjadi tukang koran seperti saya harus kuat, kupingnya harus tebal menampung kekesalan pelanggan. Saya sih hanya minta 'PR' usahakan jangan telat terbit supaya saya tidak sering kena sasaran omelan pelanggan," ujar Sutaryan memberi masukan.

Lalu buat apa ijazah insinyur di genggamanmu? "Ya buat apa ya, saya tidak tahu, tapi kelak kalau punya rezeki saya ingin buka bengkel, subuh antar koran, selanjutnya buka bengkel," kata Sutaryan berbinar-binar.

Hari itu, baru saja pukul 8.10 WIB, koran yang dibawanya sudah sejak tadi habis. Seorang pembeli eceran memborong tiga koran sisa yang memuat pengumuman CPNS. Sutaryan menarik napas lega, tugasnya hari itu tuntas,... tas, tas, taassss. (Ratna Djuwita/"PR")***

Tuesday, December 11, 2007

IKLAN

Monday, December 10, 2007

KiSAH : Mengapa gagal, Hikayat pak Yayat

Kegagalan, sebagian orang menafsirkannya sebagai kesuksesan yang urung diraih. Kegagalan diterjemahkan pula sebagai akhir dari kesuksesan dari tak jadi tercapai. Bagi yang membuat penafsiran pertama, selalu masih ada waktu untuk terus mencoba mencapai kesuksesan baru. Namun, bagi kelompok kedua, kegagalan adalah akhir dari segala-galanya. Hikayat pak Yayat adalah kisah sebenarnya, dengan nama yang disamarkan. Kegagalannya di bisnis koran patut menjadi cermin bagi kita, terutama yang menganut tafsiran kegagalan golongan pertama. Dengan segala hormat saya kepada pak Yayat, ijinkan saya menceritakannya kepada anda semua.

Usianya belum genap enam puluh tahun ketika beliau saya kenal pertama kali tahun 1999 lalu di Bursa Koran Cikapundung bandung. Namanya hampir melegenda di kalangan para penerbit dan agen, siapa tak kenal Pak Yayat. Dari sudut Bursa Cikapundung, dengan pembawaann yang kalem namun tegas, membawanya menjadi agen eceran yang disegani baik oleh penerbit, maupun oleh subagent dan pengecer.

Omzet penjualan pak Yayat tahun 1999 bisa kita hitung bersama. Dari KOMPAS-nya yang 4000 eksemplar, PIKIRAN RAKYAT yang 6000 eksemplar dan majalah GATRA-nya yang 4000 per minggu saja plus koran dan majalah lain, membukukan lebih dari 300 juta per bulan. Dengan keuntungan rata-rata 20% sebulan, sudah dapat dipastikan 60 juta sebulan masuk ke saku pak Yayat. Angka ini jauh melebihi gaji direktur penerbitan manapun, malah barangkali lebih besar dari gaji Menteri Penerangan saat itu sekalipun.

Beberapa Rumah, berhektar tanah, beberapa mobil sertra gelar Haji di depan namanya adalah bukti itu semua. Bisnis ini sudah menjadikan pak Yayat seorang jutawan. Jerih payahnya selama 40 tahun menjadi tukang koran sudah berbuah. Kalau dulu pak Yayat harus terjun sendiri mengurusi keagenannya, saat itu, anak menantu dan beberapa anak buah sudah sigap membantunya tiap bagi membagikan koran di bawah temaram lampu Lapangan Cikapundung. Siang hari, dengan kesegaran baru setelah menikmati istirahatnya, pak Yayat selalu bisa ditemui di kantornya di pojokan jalan dekat terminal Leuwipanjang. Billboard raksasa sebuah majalah berita menjadi penanda letak kantornya.

Kejayaan pak Yayat, berangsur pudar saat reformasi bergulir. Ya, sat itu semua orang tak lagi memerlukan ijin untuk menerbitkan sebuah media. Media baru bermunculan bagai cendawan di musin penghujan. Dengan misi dan visi yang tak jelas, media-media itu bermunculan begitu saja. Rupanya pak Yayat tak siap dengan perubahan itu.

Terlalu banyak yang ditangani.

Saat itu, dalam waktu kurang dari 6 bulan pasca reformasi, terbit lebih dari 100 penerbitan baru. Sebagai agen yang paling terkenal di Bandung, pak Yayat selalu mendapat penawaran pertama untuk menjadi agen. Secara tak sadar, pak Yayat kehilangan control. Anak menantu- nya tak melakukan penyaringan atas media yang menawarkan diri. Hampir semua diterimanya.

Dalam perkembangannya, media-media baru yang tidak semuanya ditangani secara professional ini, berguguran satu per satu. Uang penjualan yang tersangkut di sub agen dan loper sulit ditagih, karena suplai terhenti, sedangkan penerbit Koran atau majalah yang sudah tutup tersebut tak mau tahu kondisi ini, jadilah hutang pak Yayat membengkak di mana-mana.

Pelajaran yang harus dipetik adalah perlakukan prioritas penanganan.

Media yang tak jelas visi misi dan latar belakangnya harus dipertimbangkan masak penawarannya sebelum diterima.

Administrasi tak siap

Semakin banyak produk yang ditangani, tidak diimbangi pak Yayat dengan sistem administrasi penerimaan barang dan penagihan yang bagus. Suatu ketika, ada seorang oknum sebuah tabloid yang dengan sengaja membedakan antara fisik dan nilai di dokumen. Pak Yayat, tak melakukan control dengan baik, sehingga saat ditagih terjadilah selisih yang diperhitungkan sebagai hutang.

Kesiapan administrasi mutlak perlu agar tidak terjadi hutang akibat kelalaian atau kesalahan penghitungan.,

Penanganan Subagen dan pengecer longgar.

Sub agen dan pengecer tidak memiliki ikatan formal dengan agen. Pak Yayat sebenarnya sadar betul soal itu, namun karena kondisi di bursa yang carut marut akibat banyaknya penerbitan baru, ditambah ketidak siapan di dalam; membuat pak Yayat kehilangan control—terutama atas penagihan—pada sub agen dan pengecer. Piutang di tangan pengecer dan subagent bertebaran dan tak bisa lagi ditagih karena sudah terlalu besar. Ini makin menggerogoti keagenan pak Yayat.

Cukuplah sudah hikayat ini ditutup dengan kisah sedih ambruknya karajaan bisnis pak Yayat. Tak ada lagi mobil berdesakan di garasi, atau sertifikat rumah yang bertumpuk di dalam lemari besi. Semua sudah hilang. Kegagalan pak Yayat, mungkin akhir dari cerita ini.

Tapi Kegagalan pak Yayat, adalah pelajaran penting bagi kita semua (BAS)

Sunday, December 02, 2007

BISNIS : Ada apa di balik koran ?


Tak jarang, kita ngomel tak keruan karena hanya karena pagi-pagi koran tak kunjung tiba di atas meja. Loper yang berpeluh karena ngebut saat mengayuh sepeda—hampir pasti—akan menjadi sasaran kemarahan kita. Wajahnya yang tak bersalah akan makin tak bercahaya, karena koran terlambat tiba pasti bukan karena kesalahannya. Tapi, kita para pembaca, mana mau tahu sumber masalahnya.

Tak jarang pula, kita akan semakin ngomel tak ketahuan juntrungannya karena koran yang kita baca tertutup oleh iklan yang banyaknya melebihi berita. Iklan bertumpuk, bersilang saking banyaknya. Benak selalu bertanya, mengapa koran makin banyak iklannya, dan makin sedikit beritanya?

Tak banyak yang tahu, loper yang telah berpeluh dan iklan yang berjibun banyaknya, adalah representasi ekonomi yang bergerak karena adanya bisnis koran. UNTUNG!! Mencoba memilahnya secara sederhana untuk anda, bisnis yang berada di balik segulung koran.


AGEN KORAN


Bisakah anda bayangkan, bagaimana koran yang telah dicetak bisa sampai di tangan anda, di semua pelosok Jakarta, sama waktunya –bahkan-- dengan saat Presiden kita menerimanya? Adakah koran itu terbang dengan sendirinya? Atau dibawa oleh Jin dengan permadani terbangnya?

Ternyata, ada dunia di bawah tanah sana bernama dunia keagenan koran. Setiap pagi, tak kenal libur atau hujan, agen koran setia menanti kiriman dan kemudian mengantarkannya hingga sampai di depan pintu rumah kita. Agen, dengan jaringan loper dan pengecernya bergerak bak jaringan fiber optik mengantarkan data. Dengan armada motor dan sepeda, mereka menjangkau kota dan desa, kampung atau perumahan kita.


Agen-agen di Jakarta (dan beberapa tempat di Indonesia) berkumpul di beberapa lokasi yang mereka sebut Bursa. Di Jakarta kita mengenal Bursa Harmoni, Kramat, Cililitan, Cawang atau Blok A. Dulu ada bursa lapangan banetng, kini sudah tak ada. Di Bandung, sambangi lapangan dekat jalan ABC, sebelah kali Cikapundung. Orang koran menyebutnya bursa Cikapundung. Di Medan
ada Bursa Munir di Pajak Hongkong belakang Novotel, atau Bursa depan Kantor Pos di kota Makassar. Bukan rahasia, kalau anda ingin mendapatkan koran atau majalah dengan harga miring disanalah tempatnya, karena para agen memberikan harga sebagaimana dia memberikan kepada sub agen atau pengecernya.


Jangan dibayangkan agen-agen koran tampil dengan kondisi prima. Kondisi lapangan yang keras, membuat mereka tampil seperti “preman” layaknya. Walaupun itu hanya tampak luarnya saja. Dalam dunia mereka ada kode etik tak tertulis soal jaringan dan wilayah kerja, yang mereka hormati. Dan jangan heran, bila mendapati satu agen tak kenal satu persatu pengecer atau lopernya, karena satu agen bisa melayani puluhan hingga ratusan pengecer atau loper tiap harinya.

Di bursa, umumnya pemain tua masih dominan adanya. Beberapa sudah mewariskan pada generasi keduanya, namun banyak yang masih bertahan dengan kesetiannya. Rata-rata menjadi agen sudah di atas 30 tahun lamanya, membuktikan bahwa bisnis ini memang menjanjikan : tentu bila dikelola dengan baik dan benar.

Dalam hal sistem penjualan dan layanan, dikenal dua jenis agen koran : yaitu agen langganan dan agen eceran. Agen eceran cenderung menguasai wilayah luas, dengan oplah besar sifat penjualannya lebih spekulatif. Sedangkan agen langganan iasanya melayani area tertentu yang lebih sempit, dengan loper yang tak banyak (begitu juga jumlah koran yang dipegang, serta sifat pelayanannya menonjol.

BIRO IKLAN

Bayangkan koran tanpa iklan. Selain nampak membosankan, karena tak banyak gambar, juga tak indah rupanya. Dan bayangkan pula, koran tanpa iklan; bisa jadi tak ada akan tahan lama nyawa itu koran. Ya, iklan adalah bagian dari nyawa sebuah koran.

Hadirnya iklan di koran, selain karena peran tenaga penjualan, juga karena adanya para biro iklan. Ibarat jembatan, kini biro iklan adalah penghubung maksud si pengiklan, membuat materi yang indah (dan mudah dimengerti) memilihkan media yang tepat hingga sampailah iklan di tangan pembaca.

Dalam pekerjaannya, biasanya, biro iklan memberikan layanan satu pintu untuk pelayanan kreatif (perancangan materi iklan), perencanaan media yang tepat dan penjadwalannya, serta purna jual dengan pengukuran respon dan efektivitas sebuah iklan. Tak sedikit pula, biro iklan yang mengkhususkan dirinya menangani iklan-iklan kecil, atau yang di koran-koran berbentuk baris dan kolom kecil.

Bisnis ini menuntut kreativitas yang tinggi, kepekaan membaca pasar serta kedekatan dengan media (dalam hal ini kita berbicara soal koran).

Koran, biasanya memberikan harga khusus kepada biro iklan; sehingga acapkali, pemasang iklan akan mendapat harga lebih mahal saat dia mencoba berhubungan dengan koran. Boleh dikatakan, biro iklan mendapat keuntungan dari dua sisi : komisi dari penerbit dan “charge” dari pemasang iklan.

Saat ini, untuk pemasangan iklan besar (dari perusahaan-perusahaan besar) ditangani oleh biro iklan besar dengan back up modal yang kuat; karena biasanya koran seperti KOMPAS mensyaratkan pembayaran di muka untuk pemasangan iklan. Dan kini, sudah jadi trend di Indonesia, biro iklan besar ini memiliki afiliasi dengan biro iklan internasional; sehingga menguasai bisnis ini dari hulu hingga hilir. Biro-biro ilan besar bergabung dalam P3I atau Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

Biro iklan kecil, tetap juga bertahan dengan pasar mereka, pasar yang mmang tak dirambah biro iklan besar. Jumlah biro iklan kecil ini – di Jakarta saja – mencapai ribuan. Mereka memiliki asosiasi sendiri pula.

PENJUAL KORAN BEKAS

Barangkali banyak orang meremehkan bisnis ini. Tapi, dengan banyakya koran yang terbit saat ini; dan tak semua laku, bisnis ini sangat menjanjikan.

Jangan dibayangkan, penjual koran bekas datang ke penerbit dengan gerobak butut yang ditarik tenaga manusia. Mereka sudah mendapat pesanan dari pabrik daur ulang kertas dalam hitungan ribuan kilogram, artinya moda yang dipakai minimal truk beroda enam. Selain dibawa ke pabrik kertas, mereka juga menjual kepada pengrajin bungkus kertas untuk konsumsi pedagang sayur mayur di pasar.

Namun, untuk berbisnis jual beli koran bekas ini, biasanya diperlukan modal sangat besar, karena pebisnis ini harus membayar tunai pada para pemulung atau pihak penjual. Sedangkan mereka akan melepas ke pabrik bila kuota berat sudah terpenuhi, malah tak jarang pabrik membayar dengan cek atau giro yang tak langsung cair


PENERBIT KORAN

Ada pameo bilang, orang yang menerbitkan koran di Indonesia, adalah orang gila atau bila dia tak gila maka dia punya banyak sekali uang. Bisnis penerbitan koran, adalah bisnis yang menggiurkan sebenarnya. Bayangkan, koran seperti KOMPAS bisa meraup pendapatan iklan lebih dari 3 Milyar sehari. Namun, saat iklim reformasi mulai bergulis, saat menerbitkan koran tak perlu SIUP, di saat itu pula ratusan koran baru terjungkal karena kehabisan napas alias modalnya habis di tengah jalan.

Selain menjanjikan pendapatan besar, memliki koran adalah prestise tersendiri. Posisi tawar secara politik pemilik koran biasanya akan besar, apalagi korannya besar. Kenapa, karena koran bisa membentuk opini yang memihak pada kubu tertentu (yang sebenarnya secara etik jurnalistik kurang etis dilakukan).

Untuk menerbitkan koran, modal utama yang harus dimiliki selain uang yang cukup, juga SDM yang handal, karena industri ini padat karya, sedikit bagian yang bisa dikerjakan oleh mesin. Berapa modal awalnya? ada bisa hitung sendiri : untuk koran setebal 44 halaman, diperlukan biaya cetak 2000 rupiah per eks, bila anda ingin koran anda "tampil" di Jakarta, sehari minimal harus cetak 25000 eksemplar, dengan SDM minimal 60 orang, iklan yang belum banyak, maka siap-siaplah merogoh kocek cukup dalam. (BAS)

SEJARAH : Koran pertama lahir dibandung


Adakah anda bisa membayangkan, di jaman yang menuntut kita serba tahu ini tak ada Koran. Tak ada teman minum kopi di pagi hari, tak bahan bacaan untuk referensi berdiskusi di siang hari?

Koran, majalah, tabloid – apapun isinya – sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita, bahkan sejak kita belum mengenal huruf untuk dibaca. Tapi tak banyak yang tahu, bagaimana sejarah asal muasal Koran?

Koran bukan produk asli Indonesia. Dari beberapa literatur yang ada—salah satunya dari situs ensiklopedia : www.questia.com-- diyakini bahwa cikal-bakal koran berasal dari jaman romawi kuno dalam bentuknya yang paling sederhana (semacam pamflet atau poster di jaman kini), dan berkembang menjadi mirip koran saat ini ketika di Eropa saat ditemukannya mesin cetak bertenaga uap pada abad 17-18.

Momentum revolusi industri di tahun 1800-an memacu tumbuhnya oplah koran di Eropa dan Amerika. Ini adalah jaman keemasan, termasuk untuk koran sore (yang belakangan redup dengan makin sedikitnya kaum ‘blue collar’).

Tradisi membuat koran, masuk ke Indonesia ditandai dengan lahirnya koran berbahasa Belanda “Batavia Nouvelles” pada 7 Agustus 1744, atas kebaikan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Batavia. Lalu, arah perkembangan koran di Indonesia dipicu lahirnya koran bernama “Brotomartani” di Surakarta.

Koran yang boleh dikatakan pribumi tulen, dan boleh jadi menjadi cikal bakal industri koran nasional adalah “Medan Priyayi” yang didirikan oleh RM Tirtohadisoerjo tahun 1907 di Bandung. Awalnya adalah mingguan, lalu pada tahun 1910 terbit menjadi harian.

Dalam kurun waktu 60 tahun, koran-koran baru dengan “manajemen pribumi” tumbuh dan mati bergantian. Era tahun 1970-an boleh dikata awal dari perkembangan koran-koran indonesia yang telah mulai dimanajemeni dan diproduksi dengan cara modern pada jamannya. KOMPAS, Indonesia Raja, PRIORITAS (yang kemudian menjadi MEDIA INDONESIA, SINAR HARAPAN, majalah mingguan TEMPO. Tantangan koran pada jaman ini, masih tak jauh berbeda dengan jaman dulu; selain persoalan represi dari penguasa, juga manajemen media massa.

Pada tahun 1998, dikabarkan jumlah koran yang sempat terbit Indonesia mencapai 1000 buah karena euforia jaman, seleksi alam membiarkan koran-koran yang dikelola dengan profesional tetap hidup.

Dari sisi bisnis keagenan koran, nampaknya tak segegap gempita perkembangan teknologi produksi koran. Di Jakarta, agen-agen koran sudah berada di emperan Harmoni sejak tahun 1970-an hingga kini, begitu juga bursa Cikapundung di Bandung dan Jembatan Merah di Surabaya. Barangkali ini dipengaruhi, selain dari faktor industri koran yang sentralistik ke sisi produksi—yang menganak emaskan wartawan atau redaksi – juga karena pelaku bisnis keagenan rata-rata bukan pemain profesional yang memikirkan benar faktor manajemen dan kaderisasi. Bila sang pemain mundur atau mati, maka matilah bisnisnya. Persaingan yang main ketat, ditambah tak tumbuhnya minat baca (plus minat beli) membuat koran-koran baru tumbang, serta menyeret agen-agen dalam kubangan hutang. Dalam kondisi ini, sebenarnya ada peluang bagi pemain profesional untuk masuk mengelola bisnis keagenan.

Bisnis lain di industri. ini adalah industri iklan. Sebelum era 1980-an, industri iklan koran boleh dikatakan mencorong, sampai kemudian bertumbuhan TV-TV swasta. Kini, media cetak (koran tabloid, majalah dan sejenisnya) hanya kebagian sekitar 30% pangsa iklan. Sisanya disedot oleh TV. Seiring dengan itu, para pengiklan tumbuh menjadi makin cerdas dan kreatif, ditambah masuknya biro-biro iklan yang berafiliasi dengan biro iklan internasional membuat persaingan di sektor ini juga tak kalah ketat Mereka mencari media alternatif seperti media komunitas yang pasanya fokus, captive namun tarif pemasangan iklannya tak mahal. Sehingga, sebenarnya muncul peluang lagi untuk menggarap iklan-iklan media komunitas ini.

Sejarah sudah berbicara, sejarah memberikan ilmunya. Tinggal kita, yang belum atau baru memulai jangan mengulangi sejarah kesalahan yang sama. Karena keledai juga tak melakukannya. (BAS).

Wednesday, November 28, 2007

UNTUNG!! edisi DESEMBER 2007

UNTUNG edisi Desember 2007 akan membuka blak-blakan semua aspek tentang BISNIS AGEN KORAN dan MAJALAH.

Bila anda memiliki pengetahuan cukup soal sejarah koran, memiliki pengalaman berbisnis agen koran dan majalah, pernah menjalaninya entah sukses atau gagal, silakan mengirimkan tulisan ke ; basriadhi@cbn.net.id...jangan lupa disertakan foto dengan resolusi 75 dpi saja (supaya tak terlalu berat).

Tabloid Panduan Usaha UNTUNG!! yang pemula jadi bisa, yang lihai makin piawai.