Adakah anda bisa membayangkan, di jaman yang menuntut kita serba tahu ini tak ada Koran. Tak ada teman minum kopi di pagi hari, tak bahan bacaan untuk referensi berdiskusi di siang hari?
Koran bukan produk asli
Momentum revolusi industri di tahun 1800-an memacu tumbuhnya oplah koran di Eropa dan Amerika. Ini adalah jaman keemasan, termasuk untuk koran sore (yang belakangan redup dengan makin sedikitnya kaum ‘blue collar’).
Tradisi membuat koran, masuk ke Indonesia ditandai dengan lahirnya koran berbahasa Belanda “Batavia Nouvelles” pada 7 Agustus 1744, atas kebaikan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Batavia. Lalu, arah perkembangan koran di Indonesia dipicu lahirnya koran bernama “Brotomartani” di Surakarta.
Koran yang boleh dikatakan pribumi tulen, dan boleh jadi menjadi cikal bakal industri koran nasional adalah “Medan Priyayi” yang didirikan oleh RM Tirtohadisoerjo tahun 1907 di Bandung. Awalnya adalah mingguan, lalu pada tahun 1910 terbit menjadi harian.
Dalam kurun waktu 60 tahun, koran-koran baru dengan “manajemen pribumi” tumbuh dan mati bergantian. Era tahun 1970-an boleh dikata awal dari perkembangan koran-koran indonesia yang telah mulai dimanajemeni dan diproduksi dengan cara modern pada jamannya. KOMPAS, Indonesia Raja, PRIORITAS (yang kemudian menjadi MEDIA INDONESIA, SINAR HARAPAN, majalah mingguan TEMPO. Tantangan koran pada jaman ini, masih tak jauh berbeda dengan jaman dulu; selain persoalan represi dari penguasa, juga manajemen media massa.
Pada tahun 1998, dikabarkan jumlah koran yang sempat terbit Indonesia mencapai 1000 buah karena euforia jaman, seleksi alam membiarkan koran-koran yang dikelola dengan profesional tetap hidup.
Dari sisi bisnis keagenan koran, nampaknya tak segegap gempita perkembangan teknologi produksi koran. Di Jakarta, agen-agen koran sudah berada di emperan Harmoni sejak tahun 1970-an hingga kini, begitu juga bursa Cikapundung di Bandung dan Jembatan Merah di Surabaya. Barangkali ini dipengaruhi, selain dari faktor industri koran yang sentralistik ke sisi produksi—yang menganak emaskan wartawan atau redaksi – juga karena pelaku bisnis keagenan rata-rata bukan pemain profesional yang memikirkan benar faktor manajemen dan kaderisasi. Bila sang pemain mundur atau mati, maka matilah bisnisnya. Persaingan yang main ketat, ditambah tak tumbuhnya minat baca (plus minat beli) membuat koran-koran baru tumbang, serta menyeret agen-agen dalam kubangan hutang. Dalam kondisi ini, sebenarnya ada peluang bagi pemain profesional untuk masuk mengelola bisnis keagenan.
Bisnis lain di industri. ini adalah industri iklan. Sebelum era 1980-an, industri iklan koran boleh dikatakan mencorong, sampai kemudian bertumbuhan TV-TV swasta. Kini, media cetak (koran tabloid, majalah dan sejenisnya) hanya kebagian sekitar 30% pangsa iklan. Sisanya disedot oleh TV. Seiring dengan itu, para pengiklan tumbuh menjadi makin cerdas dan kreatif, ditambah masuknya biro-biro iklan yang berafiliasi dengan biro iklan internasional membuat persaingan di sektor ini juga tak kalah ketat Mereka mencari media alternatif seperti media komunitas yang pasanya fokus, captive namun tarif pemasangan iklannya tak mahal. Sehingga, sebenarnya muncul peluang lagi untuk menggarap iklan-iklan media komunitas ini.
Sejarah sudah berbicara, sejarah memberikan ilmunya. Tinggal kita, yang belum atau baru memulai jangan mengulangi sejarah kesalahan yang sama. Karena keledai juga tak melakukannya. (BAS).