Google

Wednesday, December 12, 2007

SI SUKSES : Davi Loper yang Insinyur


DIKUTIP dari PIKIRAN RAKYAT Online


Hari masih gelap, malam baru saja usai bertugas. Sekira pukul 3.00 WIB kesibukan pecah di sebuah rumah di kawasan Padasuka Bandung Timur. Laki-laki muda, wajahnya selalu tersenyum, matanya hampir tak pernah terpejam lelap, ia selalu terjaga menunggu subuh turun menyelimuti bumi Parahyangan. Saat itulah ia terjaga dan bergegas bangun.



Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah sibuk memilah mana koran-koran yang harus dikembalikan, sisa penjualan yang tidak terjual di hari kemarin. Usai salat Subuh, laki-laki yang selalu tampak energik itu, bergegas dengan motornya menerobos dinginnya pagi. Ia keluar rumah untuk menjemput ratusan koran Pikiran Rakyat dan yang lainnya dari agen H. Iskandar di Bandung Timur. Koran-koran itu, lalu diantarkannya ke tiga outlet yang sudah menjadi langganannya sejak dulu. Barulah ia memulai aktivitasnya mengantarkan koran Pikiran Rakyat dari pintu ke pintu pelanggan yang kini tersebar di tiga wilayah, Antapani, Arcamanik dan daerah Ujungberung Bandung, termasuk Padasuka wilayah tempat tinggalnya.

Begitulah hari-hari Davi Sutaryan. Laki-laki kelahiran Bandung 15 Desember 1975 ini tampak selalu bugar, tidak pernah mengeluh membangun kesibukannya setiap hari. Bahkan tanpa lelah, ia harus berjuang sendirian menciptakan pekerjaan demi kelangsungan hidupnya.

Ia paling pantang membuka kedua telapak tangannya untuk meminta uang dari kedua orang tuanya yang telah melahirkannya. Pasangan Sukaesih dan Endang Sukandar, kedua orang tuanya amat bangga pada Davi, yang juga menjadi tulang punggung keluarganya. Sejak tamat STM, boleh dikatakan Sutaryan muda tidak lagi meminta uang jajan dari orang tuanya, termasuk uang kuliah ketika masih berstatus mahasiswa teknik mesin di Unjani.

Sutaryan tidak pernah merasa malu meski ia menjadi seorang pengantar (loper) koran. Ketika ia masih kuliah, ia juga tidak menutupi pekerjaannya. Rekan-rekannya mahasiswa malah mengagumi perjuangan yang dilakukannya itu. Dulu ia berjualan koran dengan berjalan kaki, lalu mampu membeli sepeda, dan sekarang ia sudah memiliki dua buah motor.

"Saya tertarik pekerjaan ini, terus terang karena cerita teman. Cerita tentang pekerjaan ini begitu menantang. Hati saya membatin, kenapa saya tidak mencobanya? Ternyata benar, berkat Pikiran Rakyat saya bisa seperti sekarang ini, karena di antara koran yang saya order, paling banyak permintaan adalah 'PR'," ujar Sutaryan, mengembangkan senyum optimistis.

Hingga hari ini, ia selalu memesan 250 eksemplar koran Pikiran Rakyat, dan 500 eksemplar di hari Sabtu dan Minggu. "Sebanyak itu nyaris selalu habis setiap hari. Kalau Minggu saya ambil Pikiran Rakyat sampai 500 eksemplar. Ecerannya termasuk kuat di hari Sabtu dan Minggu," ujar Sutaryan yang pernah menjajal pekerjaan di sebuah perusahaan rokok tapi hanya bertahan tiga bulan.

"Pernah saya berpikir untuk menjadi pegawai negeri, tetapi orang bilang, saya harus membayar Rp 50 juta sebagai jaminan. Saya kaget mendengar ajakan itu. Uang dari mana? Sekarang saya tidak pernah bermimpi mau jadi pegawai negeri lagi," katanya getir.

Ia tertarik menjadi seorang loper koran sejak masih duduk di bangku SMP. Kini ia telah berhasil memetik gelar insinyur teknik mesin di Unjani tahun 2000. Sutaryan mengakui itu semua berkat pekerjaannya sebagai tukang pengantar koran.

"Tidak ada pekerjaan yang lebih baik kecuali menjadi pengantar koran seperti sekarang ini. Saya pernah bekerja di luar pengantar koran, tetapi tidak betah, saya selalu mengantuk," ujar Sutaryan di suatu subuh, saat mengantarkan koran di daerah Antapani Bandung.

Selepas lulus STM, pekerjaan itu ia tekuni lebih serius di tahun 1993. Sambil kuliah di Unjani, ia terus setia menekuni profesinya itu, sehingga berhasil memboyong ijazah sarjana dari jurusan teknik mesin. "Boleh dibilang saya memperoleh biaya kuliah dari menjual 'PR'. Koran inilah yang paling banyak saya jual, yang lainnya hanya pelengkap," kata Sutaryan.

Dari suatu eksemplar koran ia bisa mengantongi keuntungan Rp 1.000,00, tabloid Rp 2.000,00, dan majalah Rp 3.000,00 hingga Rp 4.000,00. Rata-rata penghasilan bersih yang dibawa pulang ke rumah setiap bulan, lebih dari Rp 2 juta. Padahal jam kerjanya mulai pukul 3.00 WIB hingga pukul 8.00 WIB.

"Sekarang saya tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Kalau saya tekuni dengan serius, ternyata dari koran ini saya bisa hidup berkecukupan," katanya bangga. Sutaryan, kini sudah memiliki dua orang bawahan yang bertugas membantu mengantarkan koran pada ratusan pelanggan lainnya. Ia kini tengah merintis menjadi subagen.

"Ada juga yang meminta koran dari saya untuk mereka jual ke pelanggan, alhamdulillah,... ini semua berkat koran 'PR'," kata Sutaryan bangga.

Ditanya sukadukanya menjadi loper koran, Davi Sutaryan yang masih bujangan ini tersenyum, kepalanya tertunduk. "Saya sering kena damprat pelanggan koran kalau koran terlambat tiba di tangan pelanggan, atau kalau harganya naik, pelanggan suka ngomel. Menjadi tukang koran seperti saya harus kuat, kupingnya harus tebal menampung kekesalan pelanggan. Saya sih hanya minta 'PR' usahakan jangan telat terbit supaya saya tidak sering kena sasaran omelan pelanggan," ujar Sutaryan memberi masukan.

Lalu buat apa ijazah insinyur di genggamanmu? "Ya buat apa ya, saya tidak tahu, tapi kelak kalau punya rezeki saya ingin buka bengkel, subuh antar koran, selanjutnya buka bengkel," kata Sutaryan berbinar-binar.

Hari itu, baru saja pukul 8.10 WIB, koran yang dibawanya sudah sejak tadi habis. Seorang pembeli eceran memborong tiga koran sisa yang memuat pengumuman CPNS. Sutaryan menarik napas lega, tugasnya hari itu tuntas,... tas, tas, taassss. (Ratna Djuwita/"PR")***