Kegagalan, sebagian orang menafsirkannya sebagai kesuksesan yang urung diraih. Kegagalan diterjemahkan pula sebagai akhir dari kesuksesan dari tak jadi tercapai. Bagi yang membuat penafsiran pertama, selalu masih ada waktu untuk terus mencoba mencapai kesuksesan baru. Namun, bagi kelompok kedua, kegagalan adalah akhir dari segala-galanya. Hikayat pak Yayat adalah kisah sebenarnya, dengan nama yang disamarkan. Kegagalannya di bisnis koran patut menjadi cermin bagi kita, terutama yang menganut tafsiran kegagalan golongan pertama. Dengan segala hormat saya kepada pak Yayat, ijinkan saya menceritakannya kepada anda semua.
Usianya belum genap enam puluh tahun ketika beliau saya kenal pertama kali tahun 1999 lalu di Bursa Koran Cikapundung
Omzet penjualan pak Yayat tahun 1999 bisa kita hitung bersama. Dari KOMPAS-nya yang 4000 eksemplar, PIKIRAN RAKYAT yang 6000 eksemplar dan majalah GATRA-nya yang 4000 per minggu saja plus koran dan majalah lain, membukukan lebih dari 300 juta per bulan. Dengan keuntungan rata-rata 20% sebulan, sudah dapat dipastikan 60 juta sebulan masuk ke saku pak Yayat. Angka ini jauh melebihi gaji direktur penerbitan manapun, malah barangkali lebih besar dari gaji Menteri Penerangan saat itu sekalipun.
Beberapa Rumah, berhektar tanah, beberapa mobil sertra gelar Haji di depan namanya adalah bukti itu semua. Bisnis ini sudah menjadikan pak Yayat seorang jutawan. Jerih payahnya selama 40 tahun menjadi tukang koran sudah berbuah. Kalau dulu pak Yayat harus terjun sendiri mengurusi keagenannya, saat itu, anak menantu dan beberapa anak buah sudah sigap membantunya tiap bagi membagikan koran di bawah temaram lampu Lapangan Cikapundung. Siang hari, dengan kesegaran baru setelah menikmati istirahatnya, pak Yayat selalu bisa ditemui di kantornya di pojokan jalan dekat terminal Leuwipanjang. Billboard raksasa sebuah majalah berita menjadi penanda letak kantornya.
Kejayaan pak Yayat, berangsur pudar saat reformasi bergulir. Ya, sat itu semua orang tak lagi memerlukan ijin untuk menerbitkan sebuah media. Media baru bermunculan bagai cendawan di musin penghujan. Dengan misi dan visi yang tak jelas, media-media itu bermunculan begitu saja. Rupanya pak Yayat tak siap dengan perubahan itu.
Terlalu banyak yang ditangani.
Saat itu, dalam waktu kurang dari 6 bulan pasca reformasi, terbit lebih dari 100 penerbitan baru. Sebagai agen yang paling terkenal di
Dalam perkembangannya, media-media baru yang tidak semuanya ditangani secara professional ini, berguguran satu per satu. Uang penjualan yang tersangkut di sub agen dan loper sulit ditagih, karena suplai terhenti, sedangkan penerbit Koran atau majalah yang sudah tutup tersebut tak mau tahu kondisi ini, jadilah hutang pak Yayat membengkak di mana-mana.
Pelajaran yang harus dipetik adalah perlakukan prioritas penanganan.
Media yang tak jelas visi misi dan latar belakangnya harus dipertimbangkan masak penawarannya sebelum diterima.
Tapi Kegagalan pak Yayat, adalah pelajaran penting bagi kita semua (BAS)