Google

Monday, December 10, 2007

KiSAH : Mengapa gagal, Hikayat pak Yayat

Kegagalan, sebagian orang menafsirkannya sebagai kesuksesan yang urung diraih. Kegagalan diterjemahkan pula sebagai akhir dari kesuksesan dari tak jadi tercapai. Bagi yang membuat penafsiran pertama, selalu masih ada waktu untuk terus mencoba mencapai kesuksesan baru. Namun, bagi kelompok kedua, kegagalan adalah akhir dari segala-galanya. Hikayat pak Yayat adalah kisah sebenarnya, dengan nama yang disamarkan. Kegagalannya di bisnis koran patut menjadi cermin bagi kita, terutama yang menganut tafsiran kegagalan golongan pertama. Dengan segala hormat saya kepada pak Yayat, ijinkan saya menceritakannya kepada anda semua.

Usianya belum genap enam puluh tahun ketika beliau saya kenal pertama kali tahun 1999 lalu di Bursa Koran Cikapundung bandung. Namanya hampir melegenda di kalangan para penerbit dan agen, siapa tak kenal Pak Yayat. Dari sudut Bursa Cikapundung, dengan pembawaann yang kalem namun tegas, membawanya menjadi agen eceran yang disegani baik oleh penerbit, maupun oleh subagent dan pengecer.

Omzet penjualan pak Yayat tahun 1999 bisa kita hitung bersama. Dari KOMPAS-nya yang 4000 eksemplar, PIKIRAN RAKYAT yang 6000 eksemplar dan majalah GATRA-nya yang 4000 per minggu saja plus koran dan majalah lain, membukukan lebih dari 300 juta per bulan. Dengan keuntungan rata-rata 20% sebulan, sudah dapat dipastikan 60 juta sebulan masuk ke saku pak Yayat. Angka ini jauh melebihi gaji direktur penerbitan manapun, malah barangkali lebih besar dari gaji Menteri Penerangan saat itu sekalipun.

Beberapa Rumah, berhektar tanah, beberapa mobil sertra gelar Haji di depan namanya adalah bukti itu semua. Bisnis ini sudah menjadikan pak Yayat seorang jutawan. Jerih payahnya selama 40 tahun menjadi tukang koran sudah berbuah. Kalau dulu pak Yayat harus terjun sendiri mengurusi keagenannya, saat itu, anak menantu dan beberapa anak buah sudah sigap membantunya tiap bagi membagikan koran di bawah temaram lampu Lapangan Cikapundung. Siang hari, dengan kesegaran baru setelah menikmati istirahatnya, pak Yayat selalu bisa ditemui di kantornya di pojokan jalan dekat terminal Leuwipanjang. Billboard raksasa sebuah majalah berita menjadi penanda letak kantornya.

Kejayaan pak Yayat, berangsur pudar saat reformasi bergulir. Ya, sat itu semua orang tak lagi memerlukan ijin untuk menerbitkan sebuah media. Media baru bermunculan bagai cendawan di musin penghujan. Dengan misi dan visi yang tak jelas, media-media itu bermunculan begitu saja. Rupanya pak Yayat tak siap dengan perubahan itu.

Terlalu banyak yang ditangani.

Saat itu, dalam waktu kurang dari 6 bulan pasca reformasi, terbit lebih dari 100 penerbitan baru. Sebagai agen yang paling terkenal di Bandung, pak Yayat selalu mendapat penawaran pertama untuk menjadi agen. Secara tak sadar, pak Yayat kehilangan control. Anak menantu- nya tak melakukan penyaringan atas media yang menawarkan diri. Hampir semua diterimanya.

Dalam perkembangannya, media-media baru yang tidak semuanya ditangani secara professional ini, berguguran satu per satu. Uang penjualan yang tersangkut di sub agen dan loper sulit ditagih, karena suplai terhenti, sedangkan penerbit Koran atau majalah yang sudah tutup tersebut tak mau tahu kondisi ini, jadilah hutang pak Yayat membengkak di mana-mana.

Pelajaran yang harus dipetik adalah perlakukan prioritas penanganan.

Media yang tak jelas visi misi dan latar belakangnya harus dipertimbangkan masak penawarannya sebelum diterima.

Administrasi tak siap

Semakin banyak produk yang ditangani, tidak diimbangi pak Yayat dengan sistem administrasi penerimaan barang dan penagihan yang bagus. Suatu ketika, ada seorang oknum sebuah tabloid yang dengan sengaja membedakan antara fisik dan nilai di dokumen. Pak Yayat, tak melakukan control dengan baik, sehingga saat ditagih terjadilah selisih yang diperhitungkan sebagai hutang.

Kesiapan administrasi mutlak perlu agar tidak terjadi hutang akibat kelalaian atau kesalahan penghitungan.,

Penanganan Subagen dan pengecer longgar.

Sub agen dan pengecer tidak memiliki ikatan formal dengan agen. Pak Yayat sebenarnya sadar betul soal itu, namun karena kondisi di bursa yang carut marut akibat banyaknya penerbitan baru, ditambah ketidak siapan di dalam; membuat pak Yayat kehilangan control—terutama atas penagihan—pada sub agen dan pengecer. Piutang di tangan pengecer dan subagent bertebaran dan tak bisa lagi ditagih karena sudah terlalu besar. Ini makin menggerogoti keagenan pak Yayat.

Cukuplah sudah hikayat ini ditutup dengan kisah sedih ambruknya karajaan bisnis pak Yayat. Tak ada lagi mobil berdesakan di garasi, atau sertifikat rumah yang bertumpuk di dalam lemari besi. Semua sudah hilang. Kegagalan pak Yayat, mungkin akhir dari cerita ini.

Tapi Kegagalan pak Yayat, adalah pelajaran penting bagi kita semua (BAS)