Tak jarang, kita ngomel tak keruan karena hanya karena pagi-pagi koran tak kunjung tiba di atas meja. Loper yang berpeluh karena ngebut saat mengayuh sepeda—hampir pasti—akan menjadi sasaran kemarahan kita. Wajahnya yang tak bersalah akan makin tak bercahaya, karena koran terlambat tiba pasti bukan karena kesalahannya. Tapi, kita para pembaca, mana mau tahu sumber masalahnya.
AGEN KORAN
Bisakah anda bayangkan, bagaimana koran yang telah dicetak bisa sampai di tangan anda, di semua pelosok Jakarta, sama waktunya –bahkan-- dengan saat Presiden kita menerimanya? Adakah koran itu terbang dengan sendirinya? Atau dibawa oleh Jin dengan permadani terbangnya?
Agen-agen di Jakarta (dan beberapa tempat di Indonesia) berkumpul di beberapa lokasi yang mereka sebut Bursa. Di Jakarta kita mengenal Bursa Harmoni, Kramat, Cililitan, Cawang atau Blok A. Dulu ada bursa lapangan banetng, kini sudah tak ada. Di Bandung, sambangi lapangan dekat jalan ABC, sebelah kali Cikapundung. Orang koran menyebutnya bursa Cikapundung. Di Medan ada Bursa Munir di Pajak Hongkong belakang Novotel, atau Bursa depan Kantor Pos di kota Makassar. Bukan rahasia, kalau anda ingin mendapatkan koran atau majalah dengan harga miring disanalah tempatnya, karena para agen memberikan harga sebagaimana dia memberikan kepada sub agen atau pengecernya.
Jangan dibayangkan agen-agen koran tampil dengan kondisi prima. Kondisi lapangan yang keras, membuat mereka tampil seperti “preman” layaknya. Walaupun itu hanya tampak luarnya saja. Dalam dunia mereka ada kode etik tak tertulis soal jaringan dan wilayah kerja, yang mereka hormati. Dan jangan heran, bila mendapati satu agen tak kenal satu persatu pengecer atau lopernya, karena satu agen bisa melayani puluhan hingga ratusan pengecer atau loper tiap harinya.
BIRO IKLAN
Bayangkan koran tanpa iklan. Selain nampak membosankan, karena tak banyak gambar, juga tak indah rupanya. Dan bayangkan pula, koran tanpa iklan; bisa jadi tak ada akan tahan lama nyawa itu koran. Ya, iklan adalah bagian dari nyawa sebuah koran.
Hadirnya iklan di koran, selain karena peran tenaga penjualan, juga karena adanya para biro iklan. Ibarat jembatan, kini biro iklan adalah penghubung maksud si pengiklan, membuat materi yang indah (dan mudah dimengerti) memilihkan media yang tepat hingga sampailah iklan di tangan pembaca.
Dalam pekerjaannya, biasanya, biro iklan memberikan layanan satu pintu untuk pelayanan kreatif (perancangan materi iklan), perencanaan media yang tepat dan penjadwalannya, serta purna jual dengan pengukuran respon dan efektivitas sebuah iklan. Tak sedikit pula, biro iklan yang mengkhususkan dirinya menangani iklan-iklan kecil, atau yang di koran-koran berbentuk baris dan kolom kecil.
Bisnis ini menuntut kreativitas yang tinggi, kepekaan membaca pasar serta kedekatan dengan media (dalam hal ini kita berbicara soal koran).
Koran, biasanya memberikan harga khusus kepada biro iklan; sehingga acapkali, pemasang iklan akan mendapat harga lebih mahal saat dia mencoba berhubungan dengan koran. Boleh dikatakan, biro iklan mendapat keuntungan dari dua sisi : komisi dari penerbit dan “charge” dari pemasang iklan.
Saat ini, untuk pemasangan iklan besar (dari perusahaan-perusahaan besar) ditangani oleh biro iklan besar dengan back up modal yang kuat; karena biasanya koran seperti KOMPAS mensyaratkan pembayaran di muka untuk pemasangan iklan. Dan kini, sudah jadi trend di Indonesia, biro iklan besar ini memiliki afiliasi dengan biro iklan internasional; sehingga menguasai bisnis ini dari hulu hingga hilir. Biro-biro ilan besar bergabung dalam P3I atau Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Biro iklan kecil, tetap juga bertahan dengan pasar mereka, pasar yang mmang tak dirambah biro iklan besar. Jumlah biro iklan kecil ini – di Jakarta saja – mencapai ribuan. Mereka memiliki asosiasi sendiri pula.
PENJUAL KORAN BEKAS
Barangkali banyak orang meremehkan bisnis ini. Tapi, dengan banyakya koran yang terbit saat ini; dan tak semua laku, bisnis ini sangat menjanjikan.
Jangan dibayangkan, penjual koran bekas datang ke penerbit dengan gerobak butut yang ditarik tenaga manusia. Mereka sudah mendapat pesanan dari pabrik daur ulang kertas dalam hitungan ribuan kilogram, artinya moda yang dipakai minimal truk beroda enam. Selain dibawa ke pabrik kertas, mereka juga menjual kepada pengrajin bungkus kertas untuk konsumsi pedagang sayur mayur di pasar.
Namun, untuk berbisnis jual beli koran bekas ini, biasanya diperlukan modal sangat besar, karena pebisnis ini harus membayar tunai pada para pemulung atau pihak penjual. Sedangkan mereka akan melepas ke pabrik bila kuota berat sudah terpenuhi, malah tak jarang pabrik membayar dengan cek atau giro yang tak langsung cair
PENERBIT KORAN
Ada pameo bilang, orang yang menerbitkan koran di Indonesia, adalah orang gila atau bila dia tak gila maka dia punya banyak sekali uang. Bisnis penerbitan koran, adalah bisnis yang menggiurkan sebenarnya. Bayangkan, koran seperti KOMPAS bisa meraup pendapatan iklan lebih dari 3 Milyar sehari. Namun, saat iklim reformasi mulai bergulis, saat menerbitkan koran tak perlu SIUP, di saat itu pula ratusan koran baru terjungkal karena kehabisan napas alias modalnya habis di tengah jalan.
Selain menjanjikan pendapatan besar, memliki koran adalah prestise tersendiri. Posisi tawar secara politik pemilik koran biasanya akan besar, apalagi korannya besar. Kenapa, karena koran bisa membentuk opini yang memihak pada kubu tertentu (yang sebenarnya secara etik jurnalistik kurang etis dilakukan).Untuk menerbitkan koran, modal utama yang harus dimiliki selain uang yang cukup, juga SDM yang handal, karena industri ini padat karya, sedikit bagian yang bisa dikerjakan oleh mesin. Berapa modal awalnya? ada bisa hitung sendiri : untuk koran setebal 44 halaman, diperlukan biaya cetak 2000 rupiah per eks, bila anda ingin koran anda "tampil" di Jakarta, sehari minimal harus cetak 25000 eksemplar, dengan SDM minimal 60 orang, iklan yang belum banyak, maka siap-siaplah merogoh kocek cukup dalam. (BAS)